Balairung Sari Di Nagari Tabek di Kecamatan
Pariangan
Kata
‘balai’ bagi orang Minangkabau mempunyai arti lebih dari satu. Balai dengan
arti pasar dan gedung (bangunan) adat. Balairung Sari adalah sebuah “balai
adat” yang terletak di Nagari Tabek di Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah
Datar Provinsi Sumatera Barat.
Sebagai
balai adat, Balairung Sari merupakan sebuah bangunan khusus mempunyai atap
tanpa dinding ataupun jendela tempat untuk melansungkan pertemuan untuk
berunding/menyelesaikan suatu perkara dan lain-lain. Keberadaan Balairung Sari
ini tidak terlepas dari kisah asal-usul orang Minangkabau menurut tambo.
Dalam tambo
Minangkabau dikisahkan, bahwa asal usul orang Minangkabau dari keturunan Raja
Iskandar Zulkarnain yaitu Macedonia tahun 336-324 SM. Raja ini mempunyai tiga
orang putera yaitu Maharaja Alif yang menjadi Raja di Benua Ruhum (Romawi),
Maharaja Dipang yang menjadi Raja di Benua China dan yang kecil Maharaja
Diaraja yang menjadi raja di pulau Emas, dan terus mereka dekati dan akhirnya
mereka menemukan gunung Merapi. Dalam pantun disebutkan : “Dari mano titiak
palito Dibaliek telong nan batali Dari mano asal niniek kito Dari puncak gunuang
marapi”. Mereka menjadikan gunung sebagai pedoman arah yang dituju. Jadi nenek
moyang orang Minangkabau turun dari gunung merapi sebesar telur itik. Maksudnya
mereka melihat gunung merapi dari jauh seakan-akan sebesar telur itik. Di
gunung merapi ini menetap di suatu tempat yang bernama Lagundi nan Basago.
Dalam rombongan Maharaja diraja ini juga ikut istrinya Indo Jalito dan empat
orang panglimanya. Anggota rombongan yang lain adalah Cati Bilang Pandai.
Bermula
dari puncak gunung Merapi, mulai turun dan membangun nagari di suatu daerah
lereng gunung Merapi yang bernama Pariangan yang kemudian dikenal dengan Nagari
Pariangan. Di nagari Pariangan inilah terletak apa yang dinamakan dengan
Balairung Sari.
Lantai
Datar Balairung Sari
Nagari
Pariangan merupakan nagari yang pertama dan Padang Panjang nagari kedua di
Minangkabau. Karena penduduk semakin bertambah juga maka terjadilah perpindahan
penduduk ke daerah yang baru seperti ke Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan 50
koto. Jadi perpindahan pertama adalah menurun ke Parianagn kemudian Padang
Panjang, Dusun Tuo (Limo Kaum). Dari atas gunung Merapi mereka dipimpin oelh
Maharaja Diraja. Disini belum lagi ada aturan yang mengikat. Mereka bersama,
masing-masing kelompok membuat aturan sendiri-sendiri. Di Pariangan inilah
mula-mula berdiri kerajaan pertama yang bernama Kerajaan Koto Batu. Rajanya
adalah Maharaja Diraja. Sepeninggal Maharaja Diraja, penggantinya tidak, sejak
itu pemerintahn dilaksanakan oleh seorang penghulu yaitu Datuak Suri Dirajo.
Balairung
Sari dibangun oleh seorang arsitek lokal yang terkenal saat itu bernama Tan
Tejo Gerhano, ia juga dikenal sebagai orang pertama yang membuat Rumah Gadang
di Minangkabau. Meskipun Balairung Sari Tabek ini bangunannya bercirikan sistem
Bodi Caniago namun masyarakatnya tidak menganut sistem kelarasan tersebut,
masyarakat Nagari Tabek menganut sistem lareh nan Bunta jadi mereka tidak
menganut sistem kalarasan Bodi Caniago maupun Koto Piliang sesuai dengan
mamangan berikut ini : “Pisang sikalek-kalek hutan Pisang tamtu nan bagatah
Boodi Caniago inyo bukan Koto piliang inyo antah“.
Seperti
telah dikemukakan, bahwa Balairung Sari Tabek ini dibangun oleh seorang arsitek
terkenal pada masa itu yang bernama Tan Tejo Gerhano, yang juga dikenal sebagai
seorang pendiri Rumah Gadang di Minangkabau. Setelah wafat Tan Tejo Gerhano
berkubur di kuburan panjang Pariangan. Dari beberapa sumber, diperoleh
informasi bahwa kuburan Tan Tejo Gerhano tersbut sebetulnya berada di Nagari
Tabek yang mana ukurannya lebih panjang dari kuburan yang ada di Pariangan.
Saat ini Balairung Sari Tabek merupakan salah satu situs cagar budaya di bawah
pengawasan Suaka Purbakala yang berkedudukan di Batusangkar yang telah
dilindungi oleh undang-undang cagar budaya dan diawasi oleh seorang juru
pelihara.
Selain itu
Balairung Sari Tabek merupakan suatu hasil karya budaya tradisional dan
sekaligus sebagai manifestasi masyarakat Minangkabau. Dalam konteks ini,
arsitektur Balairung Sari tidak terlepas dari gambaran dan ciri khas budaya
Minangkabau. Arsitektur sebuah balairung pada umumnya hampir menyerupai bentuk
rumah gadang, yaitu dibangun di atas tiang dengan atap yang bergonjong-gonjong,
memeliki kolong, tetapi kolongnya lebih rendah dari kolong rumah gadang. Akan
tetapi tidak berdaun pintu dan berdaun jendela. Adakalanya balairung itu tidak
berdinding sama sekali, sehingga penghulu yang mengadakan rapat dapat diikuti
oleh masyarakat umum seluas-luasnya.
Seperti
dalam hal rumah gadang, maka kedua kelarasan yang berbeda alairan itu mempunyai
perbedaan pula dalam bentuk balairung masing-masing. Balairung kelarasan Koto
Piliang mempunyai anjuang pada kedua ujungnya dengan lantai yang lebih tinggi.
Lantai yang lebih tinggi digunakan sebagai tempat penghulu pucuk. Anjungnya
ditempai raja dan wakil. Lantainya terputus di bagian tengah yang disebut
dengan labuah gajah, yang berfungsi sebagai tempat lewatnya kendaraan
raja-raja. Sedangkan balairung dengan kelarasan Bodi Caniago tidak mempunyai
anjung dan lantainya rata dari ujung ke ujung.
Sementara
Balairung yang terdapat di Nagari Tabek, Pariangan yang dianggap sebagai
Baliarung tertua yang bernama Balairung Sari, merupakan tipe lain. Bentuknya
tidak mengikuti kelaran yang dua tadi. Balairung ini memiliki gonjong sebanyak
enam buah yang menyerupai tanduk kerbau. Di bawah lantai terdapat kolong.
Tangga untuk naik ke atas Balairung terbuat dari kayu dengan jumlah biasanya
ganjil 5 atau 7. Tiang berjumlah 36 buah. Di atas Balairung terdapat ruangan
yang panjang membujur dari utara ke selatan, yang berjumlah 17 buah. Saru buah
labuah gajah, yakni ruang yang terputus satu ruang, yang bertujuan tempat
perhentian kedaraan raja-raja yang datang untuk mengadakan musyawarah atau
kunjungan. Di bagian belakang Balairung terdapat sebuah kolam yang besar, yang
dulunya hanya berukuran kecil yang dimanfaatkan sebagai tempat mencuci kaki.
Di halaman
depan terdapat pula lapangan yang agak ditinggikan dari tanah yang ditanami
dengan rumput-rumputan dan bunga-bunga. Pada lapangan ini juga terdapat batu
tapakan tempat duduk. Lapangan tempat beristirahat atau berangin-angin peserta
musyawarah setelah melakukan musyawarah. Batu tapakan merupakan tempat duduk
mereka sambil menyaksikan atraksi-atraksi kesenian yang disajikan seperti
randai, tari-tarian, selawat dulang, rabab dan sebagainya. Lapangan ini disebut
juga dengan medan nan bapaneh. Dengan beristirahat sejenak disana akan
mendinginkan kepala agar dapat melanjutkan musyawarah kembali.
Bangunan
Balairung sari membujur dari utara ke selatan, dengan panjang bangunan 48, 24
meter, lebar 3,4 meter dan tinggi bangunan dari pembautan kosong yang dipasang
disekeliling 5,30 meter sampai ke puncak atap atau nok yaitu sebatang kayu yang
berfungsi sebagai tempat kedudukan atau sebagai ukuran gonjong. Kalau kita
perhatikan pemasangan batu kosong pada bagian bawah ini, sedikit terdapat
keunikan dimana pemasangan batunya tidak menggunakan bahan perekat semen
sebagaimana layaknya bangunan candi di daerha Jawa, namun bangunan ini dapat
bertahan sampai sekarang, lebih kurang usianya sudah 300 tahun.
Tiang-tiang
Balairung Sari yang ada sekarang masih merupakan tiang yang aslinya. Bentuk
bangunan Balairung Sari bila dilihat secara keseluruhan tanpak menyerupai
perahu. Menurut cerita dari versi masyarakat setempat sebelum dibangunnya
Balairung Sari ini diawali dengan pemufakatan dari perangkat nagari tentang bagaimana
bentuk balai adat yang akan dibangun. Sesuai dengan pemufakatan bersama maka
dipilihlah bentuk bangunan ini seperti sebuah perahu.
Bahan-bahan
yang digunakan dalam pendirian Balairung Sari dapat terlihat dari ungkapan
adat: “Balai-balai balerong panjang Batonggak tareh jilatang Baparan baaka
lundang Bakasau manulang ikan Batabuak puluik-puluik Bagandang saliguri
Balapiak salai hilalang.” ini semua nanti akan terlihat dari setiap konstruksi
bangunan yang ada.
Tiang
Tonggak Balairung Saru diambil dari kayu tareh “jilatang”, merupakan jenis
pohon yang tidak terlalu tinggi yang kualitasnya sangat bagus untuk dijadikan
sebagai tonggak. Buktinya sampai saat ini belum pernah tonggak tersebut
diganti, artinya masih tonggak yang asli yang sudah berusia ratusan tahun.
Tiang/tonggak ini berjumlah 36 buah.