PEMBAHASAN
A.MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
1.
Pengertian
Dalam bahasa Indonesia arti dari
muzara’ah dan mukhabarah adalah pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap
pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan mukhabarah mempunyai satu
pengertian. Walaupun mempunyai satu pengertian tetapi kedua istilah tersebut
mempunyai dua arti yang pertama tharh al-zur’ah (melemparkan
tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar ). Makna yang pertama
adalah makna yang majaz dan makna yan kedua adalah makna yang hakiki.
Muzara’ah adalah kerjasama
pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan pernggarap, dimana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara
dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.[1]
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya
(seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung orang yang mengerjakan.
2.
Dasar Hukum
Dasar hukum yang digunakan para
ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadist yang
diriwayatkan olehBukhari dan Muslim dari Abu Abbas ra.
“
sesungguhnya Nabi SAW. Menyatakan, bahwa beliau tidak mengharamkan
bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi
sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah maka
hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, bila ia tidak
mau maka boleh ditahan saja tanah itu.
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَن ذَلِكَ
Artinya: :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari)
Diriwayatkan oleh Muslim dan Thawus
ra.
Artinya:
“ sesungguhnya Thawus ra.
Bermukhabarah, Umar ra. Berkata; dan aku berkata kepadanya; ya Abdurahman,
kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi
melarangnya. Kemudian Thawus berkata; telah menceritakan kepadaku orang yang
sungguh – sungguh mengetahui hal itu, yaitu Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW, tidak
melarang mukhabarah, hanya beliau berkata bila seseorang memberi menfaat kepada
saudaranya, hal itu lebih baik daripada mengambil manfaat dari saudaranya
dengan yang telah dimaklumi.”
Demikian dikemukakan dasar hukum
muzaraah dan mukhabarah, diketahui pula pendapat para ulama, ada yang
mengharamkan kedua-duanya, seperti pengarang kitab Al-Manhaj. Ada yang
mengharamkan muzaraah saja, seperti al-syafi’I berpendapat bahwa akad
al-muzara’ah sah apabila muzara’ah mengikut kepada akad musaqah. Misalnya,
apabila terjadi akad musaqah.
3.
Rukun dan Syarat
Rukun muzara’ah dan mukhabarah
menurut Hanafiah ialah akad, yaitu ijab dan qabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci
rukun muzara’ah
dan mukhabarah menurut Hanafiyah adalah; tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat
untuk menanam.
Syarat-syaratnya:
a. Syarat yang
berkaitan dengan aqidain, yaitu harus berakal
b. Berkaitan
dengan tanaman, yaitu adanya penentuan macam tanaman yang akan ditanam.
c. Hal yang
berkaitan dengan perolehan hasil tanaman
d. Bagian
masing-masing harus disebutkan jumlahnya.
e. Waktunya
telah ditentukan
f. Waktu
tersebut memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud.
g. Hal yang berkaitan dengan peralatan yang akan
digunakan untuk menanam, alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang
lainnya dibebankan pada pemilik tanah.
4.
Persamaan dan Perbedaan
Persamaan antara keduanya yaitu dalam
bahasa Indonesia arti dari muzara’ah dan mukhabarah adalah sama-sama pertanian.
Menurut Taqiyyudin yang mengungkap pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan
mukhabarah mempunyai satu pengertian.
Adapun perbedaan nya adalah:
diantara keduanya mempunyai sedikit
perbedaan yaitu:
Muzara’ah : Benih dari pemilik lahan
Mukhabarah : Benih dari penggarap[2]
5.
Contoh Muzara’ah dan mukhabarah
dalam Kehidupan
a. Muzara’ah
Kegiatan muzara’ah ini sudah terjadi
sejak lama dikarenakan pemilik sawah tidak memiliki cukup waktu untuk menggarap
sawahnya, sehingga untuk menggarap sawah yang bersangkutan diserahkan kepada
pihak lain.
Kegiatan muzara’ah ini saya amati
disekitar tempat tinggal saya. Berdasarkan hasil pengamatan saya, sebelum
penggarapan sawah dilaksanakan oleh pihak kedua, mereka terlebih dahulu membuat
kesepakatan mengenai pembagian hasil, kerugian, pembayaran zakat dan PBB
sawahnya.
Keuntungan dari sawah tersebut
dibagi 3, dengan aturan sepertiga dari hasil panen untuk pemilik sawah,
sedangkan dua pertiganya untuk penggarap sawah. Jika terjadi kerugian, maka
kerugian tersebut ditanggung oleh kedua belah pihak. Sedangkan masalah zakat
dan pembayaran PBB dari sawah yang bersangkutan dibayarkan oleh pemilik sawah.
b. Mukhabarah
Kegiatan mukhabarah ini saya amati
disekitar tempat tinggal saya. Hal ini terjadi dikarenakan pihak yang memiliki
sawah sudah tua dan tidak sanggup lagi menggarap sawahnya sendiri. Karena
itulah pihak pemilik sawah menyerahkan penggarapan sawahnya kepada pihak lain
yang dipercaya.
Sebelum penggarapan sawah dilakukan
oleh orang yang dipercaya pemilik sawah, mereka terlebih dahulu membuat
perjanjian yang terkait dengan pembagian hasil, pembayaran zakat, PBB dan
masalah jika seandainya terjadi kerugian.
Biasanya pada penggarapan sawah yang
bibit dan pupuknya berasal dari pemilik sawah, maka hasil panennya dibagi 2.
Setengah dari hasil panen untuk pemilik sawah dan setengahnya lagi untuk
penggarap sawah. Jika pada saat sawah dipanen diketahui terjadi kerugian, maka
kerugian tersebut ditanggung oleh kedua belah pihak. Untuk pembayaran zakat
sawah, dibayar oleh kedua belah pihak, sedangkan pembayaran PBB dibayarkan oleh
pemilik sawah.[3]
B.
MUSAQAH
1.
Pengertian
Secara etimologi kalimat musaqah itu
berasal dari kata al-saqa yang artinya seseorang bekerja pada pohon tamar,
anggur (mengurusnya ) atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan
kemashlahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus. Secara
terminologis al-musaqah didefinisikan oleh para ulama :
a. Menurut
Abdurahman al-Jaziri, al-musaqah ialah : “aqad untuk pemeliharaan pohon kurma,
tanaman (pertanian ) dan yang lainya dengan syarat-syarat tertentu”
b. Menurut
Syaikh Shihab al-Din al-Qolyubi dan Syaikh Umairah, bahwa al- musaqah ialah :
“Memperkerjakan manusia untuk mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya
dan hasil yang dirizkikan allah dari pohon untuk mereka berdua”
c. Menurut
Hasbi ash-Shiddiqie yang di maksud dengan al-musaqah :“ Syarikat pertanian
untuk memperoleh hasil dari pepohonan”
Setelah diketahui semua definisi
dari ahli fiqih, maka secara esensial al-musaqah itu adalah sebuah bentuk kerja
sama pemilik kebun dengan penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan
dirawat sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan dari hasil itu akan di
bagi menjadi dua sesuai denagn aqad yang telah disepakati.
2.
Dasar Hukum
Dalam menentukan hukum musaqah itu banyak perbedaan pendapat oleh para
ulama Fiqh; Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail : bahwa akad al-musaqah itu dengan
ketentuan petani, penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah
tidak sah, karena al-musaqah seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan
imbalan sebagaian hasil yang akan di panen dari kebun.
Dalam hal ini di tegaskan oleh hadist Nabi Saw yang artinya : siapa
yang memiliki sebidang tanah, hendaklah ia jadikan sebagai tanah pertanian dan
jangan diupahkan dengan imbalan sepertiga atau seperempat (dari hasil yang akan
dipanen) dan jangan pula dengan imbalan sejumlah makanan tertentu. ( H.R.
al-Bukhori dan Muslim ).
Jumhur ulama fiqh mengatakan : bahwa akad al-musaqah itu
dibolehkan. Ditegaskan dalam hadist Nabi Saw. yang artinya : ‘Bahwa Rasulullah
Saw, melakukan kerjasama perkebunan dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan
bahwa mereka mendapatkan sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu. ( H.R.
Muttafaqun ‘alaih).
3.
Rukun dan Syarat
Adapun Rukun Musaqah adalah:
Pemilik kebun ( musaaqi ) dan penggarap ( saqiy ), keduanya
hendaklah orang yang berhak membelanjakan harta.
Syaratnya:
a.
Ucapan yang dilakukan kadang jelas (sharih) dan dengan samaran
(kinayah), disyaratkan shigat itu dengan lafazd dan tidak cukup dengan
perbuatan saja.
b.
Kedua belah pihak yang
melakukan transaksi al-musaqah harus yang mampu dalam bertindak yaitu dewasa
(akil baligh) dan berakal.
c.
Dalam obyek al-musaqah itu terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh.
Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama,
sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi menjadi dua, atau tiga.
d.
Lamanya perjanjian itu harus jelas, karena transaksi ini hampir
sama dengan transaksi ijarah ( sewa menyewa ).
4.
Berakhirnya Akad Al-Musaqah
Menurut para ulama fiqh berakhirnya akad al-musaqah itu apabila :
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis;
b. Salah satu pihak meninggal dunia;
c. Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
5.
Persamaan dan perbedaan Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah
Adapun persamaan dan perbedaan antara musaqah, muzara’ah, dan
mukhabarah yaitu, persamaannya adalah ketiga-tiganya merupakan aqad
(perjanjian).
Sedangkan perbedaannya adalah di dalam musaqah, tanaman sudah ada,
tetapi memerlukan tenaga kerja yang memeliharanya. Di dalam muzara’ah, tanaman
di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dulu oleh pengggarapnya, namun
benihnya dari petani (orang yang menggarap). Sedangakan di dalam mukhabarah,
tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dulu oleh
pengggarapnya, namun benihnya dari pemilik tanah.
6.
Contoh Musaqah
Misal si A adalah orang yang sangat kaya dan memiliki banyak tanah
/ladang dimana-mana & si B adalah seorang yang rajin bekerja tapi kekurangan
lapangan pekerjaan, karena si B orang yang ujur & dapat dipercaya maka siA
menyerahkan sebagian kebunnya kepada si B dengan ketentuan – ketentuan tertentu
yang telah di setujui oleh kedua pihak. Dan dengan disetujuinya perjanjian
tersebut maka si B pun harus merawat kebun si A dengan sebaik – baiknya sampai
waktu panen telah tiba.
7.
Hikmah Musaqah
a. Menghilangkan bahaya kefaqiran dan kemiskinan dan dengan
demikian terpenuhi segala kekurangan dan kebutuhan.
b. Terciptanya saling memberi manfaat antara sesama manusia.
c. Bagi pemilik kebun sudah tentu pepohonannya akan terpelihara
dari kerusakan dan akan tumbuh subur karena dirawat.[4]
C.MUHAQALAH
1.
Pengertian
Muhaqalah adalah jual-beli dengan cara memperkiran sewaktu masih di
ladang atau di sawah.
Hadist mentafsirkan “Al-Muhaqalah”, bahwasanya muhaqalah adalah
jual-beli padi yang dilakukan oleh seseorang dari seseorang dengan harga 100
berbeda dari gandum.
Abu Abid mentafsirkan bahwasanya muhaqalah adalah jual-beli
makanan, yaitu berupa benih. Dan Malik mentafsirkannya mengambil padi yang
sebagian sedang tumbuh dan hal yang semacam ini (menurut Malik) adalah sama
dengan mukhobaroh.
2.
Hukum muhaqalah
Yaitu menjual biji yang sudah keras dalam bijinya dengan biji dari
jenisnya, hukumnya tidak boleh, karena jual beli ini menggabungkan di antara
dua hal yang ditakutkan: ketidak jelasan pada ukuran dan baiknya, dan riba
karena tidak jelas kesamaannya.[5]
D.MUGHARASAH
1.
Pengertian
Mughaarasah adalah suatu perjanjian yang dilakukan antara pemilik tanah
garapan dan penggarap untuk mengolah dan menanami lahan garapan yang belum
ditanami (tanah kosong) dengan ketentuan mereka secara bersama sama memiliki
hasil dari tanah tersebut sesuai dengan kesepakatan yang dibuat bersama.
Masyarakat Syam menyebutnya dengan munaasabah (paroan) karena lahan yang
telah diolah menjadi milik mereka secara bersama sama dan masing masing pihak
mendapat bagian separo.
Ulama
fiqih mendefinisikan Mughaarasah adalah penyerahan pemilik lahan pertanian
kepada petani untuk ditanami pepohonan.
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan
Mughaarasah adalah penyerahan pemilik lahan kepada petani yang ahlidan pohon
yang ditanami menjadi milk berdua(pemiliok tanah dan petani).
2. Dasar
Hukum
Ulama fiqh berpendapat tentang kebolehan mughaarasah. Jumhur ulama (mazhab
Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) berpendapat tidak boleh karena ada kemungkinan
mengandung unsur gharar (ketidakpastian) baik ketidak pastian itu menimpa
pengolah ataupun pemilik tanah. sedang mazhab Maliki mengatakan boleh dengan
beberapa persyaratan.
Menurut Imam Abu Hanifah perjanjian tersebut tidak sah karena :
a.
Karena dalam
kerja sama tersebut lahan yang akan dijadikan objek kerjasama, sudah menjadi
hak milik salah satu pihak.
b.
Dalam
mughaarasah, pemilik tanah menjadikan separo dari tanahnya sebagai upah bagi
penggarap atas pekerjaan yang dilakukannya.
c.
Dalam
mughaarasah penggarap mendapat upah berupa separo dari tanah garapannya, oleh
karena itu bentuk upahnya tidak pasti baik luas maupun batasnya, sehingga
menganding unsur ketidakpastian.
Namun, Imam Abu
Hanifah membenarkan bila pemilik lahan dan penanam berbagi hasil dari semua
penghasilan kebun tersebut (tidak membagi lahan) sebagai upah dari penggarap
yang dilakukan oleh pengolah tanah kosong tersebut adalah hasil dari kebun itu
setelah berbuah.[6]
E. KIRA’ AL-ARDH
(SEWA TANAH)
1.
Pengertian
Sewa menyewa adalah suatu perjanjian atau kesepakatan di mana penyewa harus membayarkan atau memberikan imbalan atau manfaat dari benda atau barang yang dimiliki oleh pemilik barang yang dipinjamkan. Hukum dari sewa menyewa adalah mubah atau diperbolehkan. Contoh sewa menyewa dalam kehidupan sehari-hari misalnya seperti kontrak mengontrak gedung kantor, sewa lahan tanah untuk pertanian, menyewa / carter kendaraan, sewa menyewa vcd dan dvd original, dan lain-lain.
Dalam sewa menyewa harus ada barang yang disewakan, penyewa, pemberi sewa, imbalan dan kesepakatan antara pemilik barang dan yang menyewa barang. Penyewa dalam mengembalikan barang atau aset yang disewa harus mengembalikan barang secara utuh seperti pertama kali dipinjam tanpa berkurang maupun bertambah, kecuali ada kesepatan lain yang disepakati saat sebelum barang berpindah tangan.
2.
Dasar Hukum Syariat Sewa
tanah
Ahmad, abu Dawud, dan an-Nasa’I
meriwayatkan dari Said bin Abi waqqash r.a yang berkata,
“ Dahulu kami menyewa tanah dengan
bayaran tanaman yang tumbuh. Lalu Rosulullah melarang praktik tersebut dan
memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang emas atau perak”.
3.
Rukun Sewa Menyewa.
Rukun sewa menyewa adalah :
- Pelaku akad. Pihak yang menyewakan disebut mu’ajjir, sedangkan pihak yang menyewa disebut musta’jir.
- Objek akad, yaitu barang atau manfaat yang disewakan serta hujrah ( harga sewa).
- Akad sewa. Akad sewa dianggap sah setelah ijab qabul dilakukan dengan lafadz sewa atau lafadz lain yang menunjukan makna sama.[8][7]
4.
Syarat Sah Sewa Menyewa.
Akad
sewa menyewa akan sah jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Merelakan
kedua pihak pelaku, artinya kedua pelaku sewa menyewa tidak melakukan akad
secara terpaksa.
b. Mengetahui
manfaat barang yang disewakan dengan jelas.
c. Barang yang menjadi obyek akad dapat
diserahterimakan pada saat akad, baik secara fisik ataupun definitive.
d. Barang
dapat diserahterimakan, termasuk manfaat yang dapat digunakan oleh penyewa.
e. Manfaat
barang tersebut status hukumnya mubah, bukan termasuk barang yang diharamkan.
f. Kompensasi
harus berbentuk harta dengan nilai jelas, konkrit atau dengan menyebutkan
criteria-kriterianya.
Kompensasi atau upah yang diberikan boleh disesuaikan dengan
standart kebiasaan masyarakat setempat. Sebagian ulama ada yang membolehkan
mengupah dengan makanan atau pakaian dengan dalil hadist yang diriwayatkan oelh
Ahmad dan Ibnu majah : kami dulu pernah bersama Nabi, beliau lalu membaca Tha
Sin Mim hingga ayat tentang kisah nabi Musa a.s, lalu bersabda, ” sesungguhnya
Musa menghambakan dirinya selama delapan atau sepuluh tahun, untuk kepentingan
menutupi aurat dan member makan perutnya”. (HR Ibnu Majah dari Abu Bakara,
Umar, dan Abu Musa).
5.
Masalah Dan Beda Pendapat Mengenai
Sewa Menyewa.
Ajaran Islam yang ada dalam
Al-qur’an dan hadist telah terang-terangan membolehkan akad sewa menyewa.
Karena pada dasarnya setiap umat manusia akan saling membutuhkan satu sama
lain. Namun, sejalan dengan itu ada beberapa persoalan tentang sewa menyewa
yang menimbulkan perdedaan pendapat di antara para ulama.
a. Menyewa
pohon untuk mengambil buahnya.
b. Upah mengajarkan al-qur’an, ilmu pengetahuan,
dan upah untuk praktik ibadah.
6. . Hal-hal yang Membuat Sewa Menyewa
Batal
-Barang yang disewakan rusak
- Periode / masa perjanjian / kontrak sewa menyewa telah habis
- Barang yang disewakan cacat setelah berada di tangan penyewa.
-Barang yang disewakan rusak
- Periode / masa perjanjian / kontrak sewa menyewa telah habis
- Barang yang disewakan cacat setelah berada di tangan penyewa.
7. Manfaat Sewa Menyewa
- Membantu orang lain yang tidak sanggup membeli barang
- Yang menyewakan memdapatkan menfaat dari sang penyewa
- Membantu orang lain yang tidak sanggup membeli barang
- Yang menyewakan memdapatkan menfaat dari sang penyewa
F. IHYA’ AL-MAWAT
(MEMPRODUKTIFKAN TANAH TERLANTAR)
1.
pengertian
Secara
etimologi kata ihya artinya menjadikan sesuatu atau menjadi hidup, dan
al-Mawat ialah sesuatu yang tidak bernyawa, dalam konteks ini ialah tanah
yang tidak dimiliki seseorang yang belum digarap. Pembahasan tentang ihya
al-mawat berkaitan dengan persoalan tanah yang belum digarap dan belum
dimilki oleh seseorang.
Secara
terminologi, ulama fiqh mendefinisikan ihya al-Mawat sebagai berikut :
a.
Asy-Syarbini
al-Khatib berpendapat bahwa ihya al-Mawat adalah menghidupkan tanah yang
tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkan seorang pun.
b.
Menurut Idris
Ahmad yang dimaksud ihya al-Mawat adalah memanfaatkan tanah kosong untuk
dijadikan kebun, sawah, dan yang lainnya.
c.
Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa ihya al-Mawat adalah penggrapan lahan/tanah yang belum
dimiliki dan digarap oleh orang lain, karena ketiadaan irigasi serta jauh dari
pemukiman.
Ihya
al-Mawat bertujuan agar lahan-lahan yang gersang menjadi
tertanami, yang tidak produktif menjadi produktif, maupun untuk bangunan.
Sebidang tanah
atau lahan dikatakan produktif, apabila menghasilkan atau memberi manfaat
kepada masyarakat. Indikasi yang menunjukkan kepada adanya ihya al-mawat adalah
dengan menggarap tanah tersebut, misalnya jika tanah itu ditujukan untuk
keperluan pertanian atau perkebunan tanah tersebut dicangkul, dibuatkan irigasi
dan lain sebagainya. Dan jika tanah tersebut diperlukan untuk bangunan, di
tanah tersebut didirikan bangunan dan sarana-prasarana umum sebagai
penunjangnya.
2. Dasar Hukum
Adapun yang
mendasari konsep ihya al-mawat adalah hadis-hadis Rosulullah saw. Hadis-hadis
tersebut sebagai berikut :
Rasulullah SAW.
Bersabda:
من عمر أر ضا ليست لأ حد فهو أ حق بها (رواه
البخا ري)
Artinya : “barang
siapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka dialah yang
berhak atas tanh itu”. (HR.Imam al-Bukhari).
Rasulullah saw.
Bersabda :
من احيا ارضا ميتة فهي له (رواه ابو داود والتر
مدى)
Artinya :
“barang siapa yang membuka tanah yang kosong, maka tanah itu akan menjadi
miliknya”. (HR.Ahmad dan Imam at-Tirmidzi).
Dengan adanya
hadis-hadis tersebut di atas, para ulama berpendapat bahwa hukum ihya al-mawat
adalah mubah, bahkan ada yang mengatakan sunah. Yang jelas hadis-hadis
tersebut memotivasiumat Islam untuk menjadikan lahankosong menjadi lahan
produktif, sehingga karunia yang diturunkan oleh Allah swt, dapat dimanfaatkan
semaksimal mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
3.
Rukun dan Syarat-syarat Ihya’ Al-Mawat
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa Rukun- Ihya’ Al-Mawat
mencakup tiga hal, yaitu: orang yang
menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
Syarat nya:
a.
Syarat yang terkait
dengan orang yang menggarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi
tidak berhak menggarap lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak
penguasa, jika kaum dzimmi atau orang kafir menggarap lahan orang Islam itu
berarti penguasaan terhadap hak milik orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau
orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir
menggarap lahan kosong, lalu datang seorang muslim merampasnya, maka orang
muslim boleh menggarap lahan itu dan menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah
berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh memiliki lahan yang ada di negara
Islam.
Menurut Ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang
yang akan menggarap lahan itu tidak disyaratkan seorang muslim. Mereka
menyatakan tidak ada bedanya antara orang muslim dan non-muslim dalam menggarap
sebidang lahan yang kosong. Kemudian mereka (jumhur ulama) juga menyatakan
bahwa ihya’ al-mawat merupakan salah satu pemilikan lahan, oleh sebab
itu tidak perlu dibedakan antara muslim dan non-muslim.
b.
Syarat yang
terkait dengan lahan yang akan digarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam,
akan tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang
ada di negara islam maupun bukan, bukan lahan yang dimilki seseorang,
baik muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi
suatu perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk mengembala
ternak warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh dari perkampungan.
c.
Syarat yang terkait
dengan penggarapan lahan
Menurut Imam Abu Hanifah, harus mendapat izin dari pemrintah, apabila
pemerintah tidak mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap
lahan itu, menurut ulama Malikiyah, jika lahan itu dekat dengan pemukiman, maka
menggarapnya harus mandapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari
pemukiman tidak perlu izin dari pemerintah
4.
Cara-cara Ihya’ Al-Mawat
Menurut Hafidz Abdullah dalam bukunya bahwa cara-cara menghidupkan tanah
mati atau dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan
bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan
masyarakat. Adapun cara ihya’ al-mawat adalah sebagai berikut :
a.
Menyuburkan, cara ini digunakan untuk daerah yang gersang yakni daerah di
mana tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk
dari pabrik maupun pupuk kandang sehingga tanah itu dapat ditanami dan dapat
mendatangkan hasil sesuai dengan yang diharapkan
b.
Menggarisi atau membuat pagar, hal
ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas, sehingga tidak mungkin untuk
dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka dia harus membuat
pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.Menggali parit, yaitu
membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang
mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengusai dengan demikian menutup
jalan bagi orang lain untuk menguasainya. [9]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muzara’ah
adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan pernggarap,
dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil
panen.
Mukhabarah
ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
al-musaqah
itu adalah sebuah bentuk kerja sama pemilik kebun dengan penggarap dengan
tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga dapat memberikan hasil
yang baik dan dari hasil itu akan di bagi menjadi dua sesuai denagn aqad yang
telah disepakati.
Muhaqalah
adalah jual-beli dengan cara memperkiran sewaktu masih di ladang atau di sawah.
Mughaarasah
adalah suatu perjanjian yang dilakukan antara pemilik tanah garapan dan
penggarap untuk mengolah dan menanami lahan garapan yang belum ditanami (tanah
kosong) dengan ketentuan mereka secara bersama sama memiliki hasil dari tanah
tersebut sesuai dengan kesepakatan yang dibuat bersama.
Sewa
menyewa adalah suatu perjanjian atau kesepakatan di mana penyewa harus
membayarkan atau memberikan imbalan atau manfaat dari benda atau barang yang
dimiliki oleh pemilik barang yang dipinjamkan
ihya al-Mawat adalah
menghidupkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkan
seorang pun.
[1] Drs.H.syukri Iska,M.Ag.Ph.D, Sistem perbankan syari’ah di
indonesia,(yogyakarta,Fajar Media Press 2012) .hlm.188.
[2] Muhamad syafi’i antonio,bank syari’ah,(jakarta, gema insani 2001).hlm.99.
[3] http://ekonomidanhukum.blogspot.com/2010/12/pengertian-muzaraah-dan-mukhabarah.html
[4] http://nailulauthor99.blogspot.com/p/musaqah-muzaraah-dan-mukhabarah.html
[5] http://khasanahduniaislam.blogspot.com/2010/06/hukum-muhaqalah-dan-hukum-muzabanah.html#ixzz2uduUM5EH
[6] http://widodoromi.blogspot.com/2012/05/muzaraah-musaqah-dan-mugharasah.html
[7] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid
4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm.203
[8]Syaikh Al-Allamah Muhammad
bin Abdurrahman ad-Dimasqi, Fiqh Empat
Mazhab, (Bandung:Hasyimi, 2010), hlm. 297
[9] .http://fachmieloebiez.blogspot.com/2013/06/ihya-al-mawat.html
No comments:
Post a Comment