Saturday, November 15, 2014

puisi : Disebelahku



Disebelahku

Bersama tawa membludak, hatiku mulai melunak
Bersama jutaan kedipan mata, panorama itu menghampar luas di jangkauanku
Bersama milyaran kali helaan napas panjang ku
Masa ini enggan kulalui melaju , melesat kencang
Sesekali aku bertanya pada sang udara dingin
Yang membawa ribuan jawaban
Yang tak bisa tertafsirkan apa itu?,,,
Dimana aku????
Semua kulupa,
Hilang sudah semua ruang memori
Kasihnya memenuhiku dengan rindu ingin bersamanya
Karna kuyakin, nyanyian nina bobo pun tak akan semerdu ini
Melemahkan anak telingaku.... kutak mendengar lagi ocehan dunia
hanya terdengar rajutan mimpi  yang semakin kuat
Yang pasti aku telah bersandar padanya,,,
Ku pun yakin, hembusan napas si pocong tak kan semerinding ini
Semua buluku enggan duduk menepi
Karna hanya ini dan itu hidup bersamaku
Jika dan hanya jika disebelahku dia ada....

cerpen :Akhirnya Ku Menemukannya



Akhirnya Ku Menemukannya

Ini kisah tentang seorang gadis biasa akhirnya menemukan jawaban tentang pertanyaan yang banyak orang sering mempertanyakannya.
--------------------------------------------------------0------------------------------------------------------
Shabrina berjalan sendiri di sebuah gang sempit dengan tas birunya  yang sudah usang, tatapannya kosong, ya inilah perasaan yang selalu disembunyikannya, perasaan yang menyesakkan dadanya namun selalu berhasil ia sembunyikan dengan senyuman di bibirnya. Kembali terngiang di telinganya perkataan Abel, salah seorang temannya”  Semoga Hanifah dapet juara satu ya!” memang tak ada yang salah dengan perkataan itu, namun tanpa disadari mengatakan hal seperti itu disamping dirinya yang juga mengharapkan ada seseorang yang mendukungnya merupakan hal yang menyakitkan untuknya.
Buliran air mata kembali membasahi pipinya, tak ada yang mengerti bahwa air mata itu merupakan jeritan hatinya yang mengharapkan cinta, tangisan yang berharap akan datang hangatnya kasih sayang , memang hal itu adalah hal sepele yang mungkin sering teman-temannya rasakan namun bagi dirinya, cinta dan kasih sayang adalah hal yang langka untuk didapatkan, bahkan sempat terbesit di pikirannya bahwa dia tidak pernah berhak mendapatkannya.
Shabrina menarik nafas dalam, berat sekali rasanya beban hidupnya, seringkali terlintas pertanyaan, apakah Tuhan itu Adil?  Entahlah, hingga saat ini ia belum  bisa menjawab pertanyaan itu.
 Akhirnya langkah kakinya berhenti di depan rumah dengaan cat abu-abu yang mulai luntur.
“Assalamualaikum”
Tidak ada jawaban, Shabrina masuk dan ia mendapat abangnya yang paling tua sedang asyik bermain game.
“ Bang, Ibu mana?”
“ Kerja” jawab Abangnya ketus.
Ia kembali menghela nafas, ya ini adalah salah satu dari beban hidupnya, akibat dari perceraian itu, Ibunya harus rela banting tulang siang dan malam untuk menghidupi keluarganya. Terbayang dalam benaknya wajah ibunya dengan garis keriput yang menggambarkan susahnya hidup yang beliau jalani.
Tak lama kemudian, sosok yang ia tunggu akhirnya datang dengan tubuh yang sudah mulai rapuh namun tetap berusaha tersenyum tegar.
“ Kakak sudah pulang nak? Sudah makan sayang?”
“ Udah bu”
Kemudian beliau menengok ke arah anak laki-lakinya yang sama sekali tidak menggubris kedatangannya.
“ Abang, sudah shalat nak?”
Tak ada jawaban
“ Bang, udah shalat nak?” dengan penuh kesabaran beliau kembali bertanya.
Namun, sekali lagi tidak ada jawaban.
Shabrina yang geram melihatnya akhirnya angkat bicara,
“Abang, denger gak apa kata ibu? Atau emang udah tuli?!”
“ diem sih! Banyak bacot amat?!”
“ makanya sopan dikit sama orangtua!”
Akhirnya tanpa berfikir panjang, Abangnya melayangkan tamparan di pipi Shabrina, sakit sekali, Shabrina tak dapat menahan air matanya lagi,
“ Nak, Ya Allah istighfar bang, istighfar! ”
Air mata deras membasahi pipi Ibunya, segera beliau memeluk Shabrina
“ Makanya jadi adek sopan dikit! Ibu juga, abang capek bu hidup gini terus!” lalu abangnya berlalu dan membanting pintu kamar.
“ Kak, maafin ibu ya kak, ini semua salah ibu” isak ibunya, tak ada yang lebih menyakitkan ketika ia melihat air mata berlinangan di wajah ibunya tercinta, bahkan tamparan tadi pun tidak ada apa- apanya.
“ Ya Allah, begitu beratkah cobaan yang harus hamba hadapi” jerit Shabrina dalam hati
Kembali teringat masa lalunya, masa lalu yang sempat memberikan harapan indah untuk sebuah kehidupan, masa lalu ketika ia masih memiliki sebuah keluarga utuh yang bahagia, masa lalu dimana abangnya sangat menyayangi ibunya bahkan tak kan berani marah bahkan membentaknya, masa lalu dimana ia masih bisa merasakan kasih sayang sosok laki-laki yang berwajah teduh, masa lalu dimana ia masih bisa bersandar kepada sosok laki-laki itu ketika menangis sehingga tak harus menanggung sendiri kekejaman hidup ini.
Namun, masa lalu yang indah itu akhirnya hancur berkeping-keping disaat seseorang manusia datang dan menghancurkan keluarganya, manusia yang sangat ia benci hingga saat ini. Keluarganya kini retak, lelaki berwajah teduh telah pergi entah kemana, bahkan abangnya yang tak kuat menahan cobaan ini sekarang berubah menjadi seseorang yang tak pernah ia kenal, seseorang yang dipenuhi amarah bahkan tak segan-segan mencaci maki ibunya, seseorang yang lebih senang menghabiskan waktunya bersama teman-teman hingga larut malam, seseorang yang seperti tidak pernah mengenal siapa Tuhannya, sejak saat itulah ia sering bertanya, apa benar Tuhan itu adil?
Tetesan hujan dari langit milik Yang Maha Kuasa itu menjadi saksi dari selembar kehidupan seorang gadis yang haus akan cinta, sedangkan disisi lain teman-temannya kelebihan bahkan menyia-nyiakan cinta itu sendiri.
Jam tua yang bergantung di dinding yang beberapa bagiannya diselimuti lumut  itu masih menunjukkan pukul 2 dini hari, disaat remaja-remaja lain sedang asyik berpetualang di negeri impiannya, seorang gadis sedang bersujud menangis di hadapan Allah, Tuhan Yang Maha Besar,ya gadis itu adalah Shabrina.
“ Ya Allah, ampunilah dosa-dosa ayah dan ibuku, ampuni dosa hamba-Mu yang lemah ini, jangan engkau biarkan ibuku yang menanggung dosa kami, anak-anaknya, Tolong hamba Ya Allah izinkan hamba untuk bisa menggantikan air mata ibu menjadi sebuah senyuman kebahagiaan, Aamiin”
Setelah mencurahkan semuanya kepada Sang Maha Agung, Shabrina melanjutkan rutinitasnya hingga menjelang jam 4 subuh, tanpa ia sadari ia kembali terlelap. Sang Ibu yang terbangun, terharu melihat anaknya yang masih menggunakan mukena putih usang dengan buku-buku yang bertebaran di sampingnya,
“ Nak, maafkan ibu nak, Ibu doakan kamu akan sukses dimanapun kamu berada, Ya Allah kabulkan doa hamba Ya Allah ” ucap beliau sambil mencium kening putrinya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Shabrina sedang berjalan menuju kelas, ketika ia mendengar suara memanggil dirinya. Ketika menoleh , tampak Hanifah bergegas menyusulnya
“ Cepet amat jalannya, Shab! Kayak dikejar setan hehehe”
Sebenarnya Shabrina memang tidak ingin berjalan dengan Hanifah, ia tidak mau peristiwa kemarin terjadi lagi. Ia sadar, dirinya dan Hanifah bagaikan langit dan bumi. Hanifah adalah seorang anak manager perusahaan yang terkenal di kotanya. Hanifah mempunyai postur tubuh tinggi, berkulit putih, dan ia merupakan anak kesayangan guru, semua orang disekolah ini mengenalnya sebagai siswa yang pintar terutama di bidang matematika.
“ Hari ini pengumuman hasil OSN kan?”
Shabrina hanya menggangguk kecil
“ kok lemes shab? Kamu sakit?”
“ Gak apa-apa kok”
“ Eh Hanifah, akhirnya dateng juga! Ajarin pr yang nomor lima dong!”
Ya, hanya Hanifah yang dianggap “ada” itulah hal yang selalu di rasakan Shabrina, kadang-kadang ia lelah terus dianggap “tidak ada”, lebih tepatnya lelah berpura-pura tidak pernah ada.
“ Hanifah, sekarang pengumuman OSN kan? Kita yakin kamu pasti lolos provinsi!”
“ Aamiin, Shabrina juga ya!”
“ Hah? Shabrina? Anak usang yang baru sekali ikut itu?mana mungkin! Hahaha”
Mendengar perkataan itu, hatinya kembali menangis, matanya berkaca-kaca, namun ia menggigit bibirnya hingga berdarah menahan agar air matanya tidak jatuh, kemudian ia kembali tersenyum.
Tetttt..... bel tanda masuk berbunyi dan tak lama kemudian, seorang wanita tua dengan postur tubuh pendek,senyuman sinis plus kacamata tua minus tujuh,  masuk ke dalam kelas. Setelah dua jam pelajaran tiba-tiba terdengar pengumuman dari speaker
“ Mohon perhatian sebentar anak-anak, Bapak ada pengumuman yang sangat membahagiakan. Kalian tentu tahu hari ini adalah hari pengumuman hasil OSN dan dengan senang hati Bapak mengumumkan bahwa ada salah satu dari teman kalian berhasil lolos ke provinsi, Selamat kepada Shabrina Alya, Bapak mohon do’a kalian semoga teman kalian dapat mengharumkan nama sekolah kita di nasional”
Semua orang yang mendengar pengumuman itu hanya ternganga tak terkecuali Shabrina namun seketika Hanifah berdiri dan memeluk Shabrina
“ Selamat Shabrina, aku tahu kamu bisa!”
Shabrina terkejut, baru kali ini ia merasakan cinta dari seorang teman, ia langsung balas memeluk erat Hanifah. Hangatnya pelukan itu membuatnya tak mampu menahan air mata.
Ketika bel pulang berbunyi, Shabrina bergegas keluar kelas, ia ingin segera sampai di rumah dan memberitahukan ibunya tentang hal itu Hatinya sangat bahagia, impiannya untuk membuat ibunya tersenyum akhirnya terwujud, Alhamdulillah.
Namun, alangkah terkejut Shabrina ketika mendapati ibunya sedang menangis terisak-isak dirumah
“ Ibu, ada apa?”
“ Abang nak... “
“ Abang kenapa bu?”
“Abang, Abang ke-ke celakaan nak”
“ Apa?! Dimana abang sekarang bu?!”
“Dirumah sakit nak..”
Jantung Shabrina berdegup kencang, tubuhnya terasa lemas,hatinya mulai merasa ketakutan
“ tidak, aku tidak ingin kehilangan orang yang aku sayang untuk kedua kalinya!” teriaknya dalam hati
Kemudian Shabrina dan Ibunya segera menuju ke rumah sakit tempat abangnya berada, sesampainya dirumah sakit, ia segera bertanya kepada dokter yang menangani abangnya
“ Dia kekurangan banyak darah, dan kita harus segera melakukan transfusi darah” ucap dokter
“ Tunggu apa lagi dok? Cepat lakukan!”
“ masalahnya kami kehabisan stok darah dan kami pun telah menghubungi pihak PMI namun hasilnya nihil”
“Baiklah, ambil saja darah saya dok” ucap Ibu
“ Apa?! Tidak! Dok, biar saya yang menyumbangkan darah saya untuk abang saya”
“ kakak!”
“ Ibu, kondisi ibu tidak memungkinkan untuk memberikan darah ibu”
“ Tapi nak,..”
“ Ibu, tolong kakak untuk melakukan sedikit hal berguna dalam hidup kakak”
Ibu hanya terdiam
“ Ayo dok, tunggu apa lagi? ambil darah saya dok!”
“Baiklah”
Akhirnya Shabrina pun  dipasang selang infus untuk memberikan darah kepada Abangnya. Sebenarnya ada perasaan takut dalam hatinya namun ia bulatkan hatinya dan Alhamdulillah, setelah beberapa jam kemudian abangnya berhasil diselamatkan, sedangkan Shabrina tetap terbaring lemah dengan senyum tulusnya.
Setelah tranfusi darah itu, kondisi Shabrina semakin menurun membuat  sang ibu sangat cemas dengan kondisi putrinya. Adzan isya akhirnya bergema menyeru seluruh umat islam untuk menghadap Sang Illahi, sang ibu hendak membangunkan Shabrina untuk menunaikan shalat, namun anehnya Shabrina tak juga sadarkan diri, dengan panik sang Ibu berteriak memanggil dokter
“ dokter, suster, tolong anak saya dok! “ bibirnya bergetar,
Segera sang dokter masuk dan memeriksa Shabrina, berbagai cara telah dilakukan hingga  menggunakan alat kejut berulang kali namun hasil tetap nihil, sang dokter hanya tertunduk lemas menatap Shabrina yang akhirnya menghembuskan napas terakhirnya karena ia kekurangan darah yang diberikan kepada abangnya yang sangat ia sayangi.
Ibunya yang  terkejut bukan main bahkan beliau sempat pingsan, beliau tak menyangka akan kehilangan putrinya yang sangat luar biasa itu.Beliau menangis terisak-isak, namun kemudian beliau sadar bahwa semuanya hanyalah milik Sang Maha Kuasa termasuk putrinya,dan beliau mencoba untuk tegar. Ketika masuk keruang dimana jenazah Shabrina berada, beliau tak dapat menahan derasnya air mata di pipi tirusnya itu, dengan lembut ia mengusap pipi putrinya yang tampak berseri itu walaupun pucat,
“ nak, kau sungguh anak yang luar biasa, aku bersyukur diberi kesempatan untuk bisa melahirkan dan merawat dirimu, Ibu doakan nak kamu mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya, aamiin ” ucapnya pelan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah berjam-jam, akhirnya sang abang berhasil melewati masa kritisnya, ketika ia membuka mata perlahan tampak ibunya dengan wajah yang sangat sembab,
“Ibu, abang dimana?”
“ abang di rumah sakit nak”
“Hah? Emang abang kenapa bu?”
“ Ceritanya panjang, nggak usah abang pikirin ya! Yang penting abang udah sembuh”
“ mana shabrina bu?”
Ibu hanya terdiam,
“ Bu? Mana shabrina?” ulangnya lagi
Ibu menghela nafas, akhirnya beliau menceritakan semuanya
“ Apa?!”
Air mata langsung jatuh di pipi sang abang, ya tentu saja air mata penyesalan, terbayang olehnya kondisi adeknya yang lemah karena kekurangan darah, terbayang pula tamparan yang pernah ia layangkan kepada adeknya. Namun apa daya, air mata penyesalan itu tak dapat mengubah atau mengulang waktu, ah andaikan ia bisa memutar ulang waktu, ya andai saja.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari berlanjut sejak sang abang bisa pulang kembali ke rumah, sejak sembuh dari kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya,lebih tepatnya sejak Shabrina, sang adik tercinta harus lebih dulu pergi mengahadap Sang Illahi, terlihat perubahan perangai sang abang, ia tidak pernah lagi pulang malam,marah apalagi mencaci ibunya, bahkan sekarang sang abang lebih sering menghabiskan waktunya di masjid dekat rumah.
Suatu siang, ketika sang Ibu sedang merapihkan lemari kamar Shabrina, beliau menemukan sebuah buku berwarna coklat yang tampak tua dimakan usia, karena penasaran, beliau pun membuka buku tua itu, ternyata itu adalah buku harian Shabrina, almarhumah putrinya.
Dibukanya perlahan lembaran demi lembaran, kembali terbayang di benaknya sosok putrinya yang sangat bersahaja dan selalu tersenyum tegar bahkan dalam kondisi yang menyakitkan sekalipun, namun gerakan tangannya terhenti di lembaran sebelum lembaran terakhir, hatinya bergetar hebat ketika membaca goresan indah putrinya,
21 Maret 2007,
Alhamdulillah Ya Allah, hari ini adalah pengumuman OSN, dan Engkau telah menunjukkan Keadilan-Mu, terima kasih Ya Allah karena Engkau telah memberikan kesempatan kepadaku untuk mengubah air mata ibuku menjadi sebuah senyuman indah, namun dihari ini pula aku harus melihat abangku terbujur lemas bertarung dengan maut, mengapa abangku Ya Allah? Cukup sudah aku kehilangan sosok seorang ayah, satu-satunya laki-laki di dunia ini yang mengerti perasaanku, dan kini aku tidak ingin kehilangan seorang laki-laki yang telah menemaniku sejak aku kecil, abangku tidak bersalah Ya Allah, dia hanya tertekan dengan keadaanya, dia hanya membutuhkan sosok seorang ayah.
Ya Allah, tolong jaga Ibu dan Abangku jika kelak aku tidak bisa lagi hadir di samping mereka, Aamiin.

Akhirnya air mata ibu tumpah saat beliau membaca lembaran terakhir,

23 Maret 2007,
Alhamdulillah, akhirnya ibu mengizinkanku untuk melanjutkan pilihanku ini, namun mengapa hari ini aku merasa angin begitu ramah kepadaku, dan bahkan aku merasa awan-awan dan daun- daun pun tersenyum manis padaku, sungguh belum pernah aku rasakan sebelumnya.Ya Allah, aku pasrah dengan rencana-Mu yang akan mengisi lembar biru hidupku ini.
Ya Allah, aku tidak mengerti dengan semua  ini,rasanya ada sedikit ketakutan dalam dirikuyang bercampur dengan kebahagiaan yang tak bisa dilukiskan dengan kata.
Ya Allah, jika memang hari ini adalah hari terakhirku untuk bisa menghirup udara di bumi cinta ini, tolong sampaikan pesanku ini kepada Ibu dan abangku, bahwa aku sangat menyayangi mereka melebihi apapun di dunia ini, dan kini aku mengerti, hidup ini adalah teka-teki, dan akhirnya aku bisa menemukanya, jawaban dari salah satu pertanyaan teka-teki itu, pertanyaan yang banyak dipertanyakan oleh insan di bumi ini, Apa Tuhan itu adil? ? Ya, bahkan Tuhan itu sangat adil.

Cerpen/Cerbung: Surat Cinta untuk Izrail



 Surat Cinta untuk Izrail

Suara gaduh itu masih mengganggu telinga Sheny. Sama seperti hari-hari biasa. Sheny hanya diam mennggapinya. Meski dalam hati pemberontak sudah siap siaga, segera dikeluarkan headset hitam dari tas ransel hitam miliknya. Tas itu masih tampak baru atau masih terlihat terawat kalaupun itu sudah tua. Ia hanya menggantung satu saluran ke telinga yang tertutup jilbab putih itu. Namun volume satu saluran itu di stelnya full hingga tombol MP3 biru itu tak memberikan perubahan pada lagu mellow yang tengah membawanya.
Posisi sudut kanan belakang tanpa teman sebangku tanpaknya sudah menjadi rumah baginya semenjak empat bulan namanya terdaftar di sekolah yang tergolong elit itu. Namun tak ada satu pun dari mereka yang mau mengisi kekosongan di sampingnya. Jadi selama itu ia hanya sendiri bersama bangku kosong tak bersalah itu.
Kelas masih berteriak akan tawa 25 murid yang belum mencapai setengah tahun usianya di SMA favorit itu.
Pak Aziz masuk. Guru matematika yang terkenal killer degan penampilan yang selalu rapi. Kali ini sepetu kulit coklat mengkilat. Kemeja biru lengan panjang licin sewarna dengan MP3 Sheny jelas tergambar betapa perhatian Buk Farida padanya. Sungut yang antara ada dan tiada, sedikit membuatnya tanpak lebih muda dari usianya yang sebentar lagi akan mencapai kepala 5. Rambut yang sudah hilang dibagian tengah berseling putih hitam pun menggambarkan betapa keras otaknya berpikir setiap hari tentang soal yang akan disuguhkannya pada murid-muridnya.
Kakinya sudah melewati pintu jati coklat itu. Kali ini pak Aziz membawa siswa yang mukanya masih sangat asing bagi siswa kelas X-3 yang masih asyik dengan  urusannya masing-masing.
“hmmmmmm...!!!” dehaman keras itu mengheningkan kelas suntuk itu seketika. Cukup menggoreskan kerutan di dahi si anak baru yang berada di sampingnya. Sedang Sheny yang memperlihatkan wajah tak bersalah terus menatap ke titik perhatian sambil mendengarkan musik yang dari tadi belum di hentiikannya. Muka asing itu tampak tak menarik hati gadis kulit putih bersih itu.
“Hai,,,, nama.... Bima Anggara, asal sekolah... SMA Harapan Bakti....udah Pak,,,,”gaya coolnya menjadikannya pusat mata seketka. Terutama mata gadis-gadis yang penuh harapan.
“Silahkan duduk di bangku yang kosong,,,”perintah pak Aziz spontan mengejutkan Sheny yang masih mendengarkan lagu galau. Semua mata menatap Sheny. Tampak wajah yang tak ikhlas pada posisinya. Terutama Lyana. Gadis yang sedang menjadi trending topik para siswa. Cantik, kaya, pintar selalu menjadi tolak ukur mereka. Sepertinya Lyana juga punya ketertarikan pada Bima sang anak baru itu. Tapi itu bukan masalah bagi Sheny. Cewek paling acuh.
“Hi,,,” sapaan itu tanpak ikhlas keluar dari cowok berambut berdiri itu.
                Sheny hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Kemudian kembali pada tatapannya yang lurus ke depan. Kali ini ia sudah melepas headsetnya. Sesekali ia menunduk menatap buku bilingual yang sudah terkambang dari tadi. Bima tak peduli sikap aneh itu. Ia menganggapnya sebagai perlakuan biasa terhadap anak baru sepertinya. Apalagi cewek dingin kayak gitu.
                Istirahat kali ini tampak berbeda. Semuanya menuju arah pojok kanan belakang. Berlomba mencari perhatian Bima, cowok putih tinggi, memenuhi kriteria cowok perfek yang diidamkan gadis seusianya. Segudang pertanyaan menghantamnya sekaligus. Jiwa SMA yang seperti ini membuatnya bosan seketika. Sesuatu yang tak menantang. Perhatian ini dengan mudah ia dapatkan. Sama seperti di sekolahnya yang dahulu. Tapi jawaban singkat, padat, jelas yang dilontarkan sesekali dicampurnya dengan senyum yang membuatnnya makin keren di mata para gadis. Pikiran awalnya itu tak menggambarkan kebosanannya.
“permisi,,,,, nanti aja ngobrolnya ya,,,aku keliling dulu,,,” caranya menghindar tampak lebih sopan dari penampilannya. Seketika ia berlalu meninggalkan gerombolan penuh harap padanya. Kedipan sayu langsung tergambar di mata mereka setelah beberapa saat sebelumnya matanya terus menganga tanpa kedip hanya untuk Bima.
Benar saja, Bima hanya kelilling sekolah dua lantai yang terbagi atas empat gedung itu. gedung A menjadi tempat pijaknya kali ini. tak ada sesuatu yang special baginya. Suasana tampak sama seperti sekolahnya dulu. Bangunannya pun mirip. Entah plagiat yang mana? Hanya mata bima tak dipenuhi kuning muda lagi seperti cat yang menyelimuti dinding sekolahnya dulu. Ia harus menyesuaikan diri dengan hijau terang yang merupkan salah satu warna papan bawah menurutnya. Suasana istirahat yang cukup gaduh memaksanya menjauhi keramaian. Jiwanya belum bisa menerima kepindahannya ini. paksaan ayahnya yang baru saja menetapkan talak tiga pada ibu tercinta menjadi faktornya. Sebagai anak tunggal pemilik perusahaan tekstil yang sedang mencapai puncak ia tak berdaya sedikit pun. Kemewahan yang sudah dari dulu di dapatkannya terasa mengikatnya erat. Sekarang ibu hanya sendiri.
Sebatang pohon alpukat ukuran sedang itu tampak terpencil sendiri. Namun cukup ridang tampaknya. Keheningan pun ikut mewarai. Bima melaangkah menujunya. Mnuju pohon tampa teman. Hari pertama ini sebenarnya tak terlalu buruk. Hanya saja beban pikiran masih dipiulnya berat. Ia sandarkan punggungnya ke batang itu. Buahnya sudah tampak menggantung, namun masih belia. Mungkin akan menggigit lidah penikmat yang berharap itu manis padahal pahit sekali. Tapi pikiran itu tak dipikirnya. Sepoi angin pukul 11 berusaha dinkmatinya agar tak ketinggalan seedetik pun. Hembusan itu bagai mengusapnya, ditambah nyayian suling dari sekelompok pohon banbu yang jauh 100 meter darinya terdegar menambah nyanyian tidur siangnya. Hingga ia terlelap.
Tak ada yang tau diamana ia kini. Setengah jam sudah lelap itu dijalaninya tanpa ingat pelajaran pak Aziz masih ada satu jam lagi setelah jam istirahat ii usai. Bebanya terlanjur dibuai angan-angan siul bambu. Iuuuuuu....... bunyi sarine tanda istirahat usai telah mengemukakan suaranya. Tak ada satu respon pun dari Bima.
Auuu!!!! Ia terbangun. Tangannya menutupi bagian dahi yang terasa sakit. Sepertinya sesuatu yang keras tept mendarat di tulang frontalnya.

CERPEN



Cinta Kejut Listrik
 
Langkah kaki sudah kupersiapkan menuju tujuan hidup masa ini. Tas hitam dengan bis abu-abu itu mungkin akan mendapat gejala overdosis, menampung kegiatan 9 jam di tempat terjenuh dalam hidup. Namun punggungku masih enggan menyandangnya. Perutku masih kosong pagi ini. Di meja persegi panjang beralas kain seadanya itu belum memilliki beban apapun pagi ini. Hah,,,,,  perasaan rindu orang tua mulai menghampiriku. Mungkin 9 tahun sudah hal ini kurasakan. Saat dimana mereka pikir aku sudah bisa mengurus diri sendiri. Bodohnya, aku menyetujui perjanjian perpisahan itu, tanpa pikir jika sekali kumerasakan rindu, pekatnya batin ini bergejolak akan  memuntahkan lahar rindu yang sudah terpedam lama, dalam sekali ledakan dahsyat. Meski kepala dua sudah kulewati 4  tahun lalu. Tapi sifat kekanak-kanakan masih mendarah daging dalam tubuh yang mungkin akan mencapai 165 ini.
Tong, teng,,,!!! Jam tua pemberian Atuk mengejutkan lamunan pagiku. Biasanya kadang bersuara kadang tak berbunyi, bahkan berhenti berputar pada porosnya. Tapi kali ini entah apa yang menyemangati, ia berdetak mulus tanpa rintangan yang berarti. Dentangan antar besi tua itu selaras mengingatkan angkot langgananku yang mungkin telah menuggu di depan gang sempit berdinding lukisan liar. Tanpa isi, perutku lupa akan nutrisi yang belum didapat pagi ini. Benar saja, Bang Ujang telah datang. Kaki setengah tegap berdiri dengan topangan mobil yang kuat berdiri. Asap rokoknya sudah mencemari embun pagi. Kumis lebat tanpa jenggot, yang mungkin belum dibersihkannya. Tampak dari tiga butir nasi putih telah hinggap di sela-sela kumis itu entah sejak kapan. Tatapannya masih sayu padaku. Sekejap tatapan itu berayun menuju pintu angkot tak berdaun miliknya. Pertanda menyuruhku masuk pada deretan  jiwa yang semangat memulai hidup. Bang Ujang kini bertopang pada kakinya 100%, lalu membawa badannya menuju pintu berdaun disebelah kanan. Mungkin dia menganggapku sudah mengerti akan isyarat kecil itu. Mengingat ia sudah melakukannya sejak dua tahun silam, ketika pertama kali aku memilih tinggal di pemukiman padat untuk melanjutkan S2ku setelah vakum satu tahun. Kunaiki angkot kuning terang itu. Muka cemas, senang, kusam, bahkan muka datar pun lengkap didalamnya. Meski ku tau pemukiman ini heterogen, tapi belum sampai pikiranku tentang muka yang heterogen pula.
Treeetttt,,, rem Bang Ujang kelihatan sudah tua. Meski rem itu tak di paksa kerja keras, namun lima menit diatasnya enam kali berhenti, enam kali pula rem itu berbunyi seperti rem pada pembalap yang berhenti setelah gas maximum yang dimiliki. Pandanganku tak sampai mencapai pemandangan luar sana. Sehingga tak kuketahui siapa orang ketujuh yang menyetop angkot Bang Ujang.
“Nik, geser!!!” Bang Ujang mengejutkanku. Pandanganku reflek menuju semua penumpang yang memang sudah bersusun rapat tanpa spasi. Sedang bangku yang aku duduki belum mencapai 5 kepala seperti peraturan yang berlaku. Tapi untuk bergeser lebih rasanya tak mungkin lagi. Pasalnya Mbak Yati sudah terlebih dulu mengambil dua bangku dengan badan doublenya. Tapi untuk urusan bayaran ya tetap untuk satu bangku.
“bangku lima geser!!!” suara Bang Ujang sepertinya mulai kesal padaku. Mungkin takut peumpangnya lari begitu saja. Yang intinya ia juga bakalan kehilangan uangnya. Meski ia sudah mngenaliku dua tahun lalu. Toh, aku hanya penumpang, sama seperti yang lainnya. Menjadi pelanggan pun tak ada perlakuan istimewa di matanya.
“ya Bang,,,,” teriakan lembut itu ku tuturkan padanya.
Sosok yang kurasa belum pernah seangkot denganku itu mulai menyelundupkan kepalanya. Namun tak timbul keinginanku menatapnya lebih. Kualihkan padanganku lurus dengan badan yang menyemitkan diri sendiri. Posisiku tepat di samping pintu tak berdaun itu. Namun kini akan digeser oleh penumpang baru itu.  Aku tak yakin sisa kursi panjang itu cukup olehnya. Untuk badan seukuran dia mungkin hanya  seperempat bokongnya. Bukan karna badannya besar, tapi memang luas kursi yang minim. Kasihan, berusaha kukecilkan badanku. Tapi tetap saja tak ada perubahan yang berarti.
“Hmmmm,,, bisa duduk kan??” kata itu ku pasangkan dengan nada lembut. Seperti biasannya aku jika bicara dengan orang yang baru kukenal.
“nggak pa-pa kok, dekat kok,,, ” Kata-katanya membuatku lega. Nggak perlu menahan napasku untuk tetap kecil. Kalau dia bilang nggak pa-pa ya, mungkin itu sudah biasa baginya. Lagian dia seorang laki-laki.
Treeeetttt!!! Rem Bang Ujang kembali berbunyi. Kali ini bukan karena penumpang baru atau penumpang yang mau turun. Tapi memang berhenti mendadak yang selaras dengan suara rem yang keras itu. Bahkan lebih keras dari biasanya.
“kamprettt,,,,, tuh anjing” kata itu keluar dengan mudahnya dari mulut Bang Ujang. Mungkin senada dengan lampiasan rasa terkejutnya yang takut mati. Kurasakan badanku terbawa oleh hukum kelembaman ke arah depan. Namun tertahan akan sesuatu. Penahan yang membuatku merasa nyaman hinggaku rasakan semua gaya menjadi nol sama dengan kecepatan angkot ini. Mataku terpejam secara reflek.  Perlahan mataku mulai kubuka. Sebuah telapak tangan kanan itu sudah mendarat di bahu kananku. Lengannya pun  mengikuti garis pundak dari kiri ke kanan. Perasaan ini spontan berubah. Berubah sealun dengan percepatan denyut jantung yang tak mau kalah berlari. Bersama detakan keras ini perlahan ku tolehkan wajahku ke arah kiri. Pertama kali ku memandangnya dengan sempurna. Namun masih kabur akan silhuet tajam pagi ini. Tangan kirinya masih berpegang pada ganggang pintu yang masih tersisa sebagai penahan beratnya juga aku yang 45 ini. Sedang ia masih tajam menatap ke arah depan dengan sedikit kerutan dahi tanda cemas. Nafasnya cepat bergantian antara inspirasi dan ekspirasi. Dalam darurat ini masih saja kupikirkan ekspresinya yanng sangat berlebihan itu.
1,2,3,4,5,..... Dor!!!! Sadarku terbangun. Aku terlalu lama memandangnya. Namun tangannya masih erat padaku. Kejutan sadarku menghasilkan gerakan sontan reflek yang cepat. Membuatnya sedikit terkejut. Sadar pula akan tanngannya secepat kilat dielakkannya menuju titik poros tubuhnya. Keningnya yang tadi berkerut kini mulai tegang dan memuai akan panasnya suhu tubuhnya, kali ini bersamaan dengan merah tomat menghampiri wajahnya. Aku hanya terdiam. Koneksiku terputus akan dunia. Tak ada sepatah kata pun yang keluar seiring angkot melaju kembali. Hanya hening kurasa. Tak terdengar satu pun pekikan dunia di gendang telinga, meski Mbak Yati menikmati ocehan gunjingannya tentang Mbak Ratna tetangganya. Mataku hanya menatap telapak tangan yang bergerak dan bermain pertanda cemas, panik, dan campur di hati ini. Darinya keluar cairan keringat yang biasanya hanya muncul saat aku gerogi di mimbar saat pidato.
“Nik! Mau turun nggak?” bentakan Bang Ujang yang sudah biasa bagiku itu memutus lamunan panjang pagi buta. Tak kulihat sosok lain di angkot itu lagi selain aku dan Bang Ujang. Tak kuketahui kapan mereka lenyap dari pandanganku.
“i..iya Bang . Makasih” sehelai uang dua ribu rupiah ku daratkan saja di tangnannya.
Pikiranku masih berjalan memikirkan pria di angkot tadi sealun langkah kaki cepat yang ku pasang menuju kelas pagi ini. berharap pikira ini bisa hilang seiring waktu berlalu. Ya, dia tidak akan bertemu lagi denganku. Lagi pula dia tidak melihat wajahku dengan jelas.
Hahhh,,,, udara kelas pagi ini sama seperti biasa. Tak berubah sedikitpun, meski kalender si samping papan tulis kusam itu telah menunjukkan angka yang berbeda.  Kulangkahkan kaki dengan sepatu dongker bis putih menuju bangku di pojok kiri belakang, tempat ternyaman untuk tidur dalam belajar. Meja anak kuliahan ini kududuki dengan perasaan kurang puas, lantanran bidangnya terlalu sempit untuk menopang kepala yang dibungkus jilbab hitamku. Tapi kali ini tak ada sedikitpun niat hatiku untuk melelapkan diri. Kukeluarkan notebook yang telah jenuh kusimpan dalam tas ransel. Facebook menjadi sasaran awalku. Melihat gosip dunia maya yang tak pernah kuno sejak beberapa tahun lalu menjadi tren dunia khususnya remaja.
Ah,, kelas yang membosankan. Dari tadi hanya aku dan janet yag menghuninya. Cewek terpendek yang juga dikenal muslimah plus pendiam itu masih belum mengeluarkan sepatah kata pun sejak aku menghuni kelas 5x5 bercat kuning pucat itu. buku sirah nabi yang dipegangnya tampak baru dibelinya kemarin. Warnanya masih mengkilap. Tapi halaman yang di tatapnya sudah melebihi setengah buku.
“An, kok belum ada yang datang?” tanyaku memecah sunyi pagi hari.
“kata Mila, dosen kita nggak datang hari ini.” jawabnya datar.
Emosiku hampir menuju vertexnya. Tapi ya gimana lagi? Toh orangnya kayak gitu. Marah pun mungkin telinganya nggak bakalan dengar. Memang sikap antisosialnya tak dapat ditolerir. Entah sengaja atau tidak, tak ada malu pada dirinya untuk memilih jalan ini. mungkin baginya nilai adalah segalanya. Tapi bagiiku nilai hanyalah angka dan huruf yang dipadukan sesukanya di kertas datar yang kabarnya pernah membunuh mahasiswa kampus ini. ironis memang, tapi inilah hidup.
Tanpa kata kulangkahkan kakiku menuju udara segar dari pohon alpukat di depan kelas kami. janet mungkin tak akan menyadariku. Atau jika ia menyadari, mungkin ia akan pura-pura tak sadar. Mungkin lagi dia ratusan kali bilang syukur di hatinya. Sudahlah,, buat apa mikirin temn yang nggak mikirin teman. Tapi otakku masih berpikir kemana tempat lain yang bisa menampugku untuk tetap ol dengan Mia yang sudah tadi menyebarkan gosip terhangat kmpus hari ini. hmmm... oh ya. Ruang seni sebelah sana mungkin sedang kosong. Lagipula siapa yang mau masuk ruang seni yang tak lengkap itu. ditambah letaknya yang sangat tak strategis. Terpecil. Juga terkenal denan cerita horor yang cukup menakutkan. Tapi hal seperti itu tak akan menjadi titik kelemahanku. Karna aku tak percaya pada hal yang demikian. Bagiku itu hanyalah hayalan dan imajinasi oranng-orang penakut.
Ini pertama kalinya aku memasukinya.  Semua maja dan kursi menepi seolah tak boleh diduduki. Lumayan luas ternyata. Tampaknya cukup terawat. Lantai marmar coklat itu tampak baru saja di sapu. Peralatan seni yang tersedia pun tertata rapi. Tapi detik ini belum tampak tanda-tanda kehidupan yang terasa. Satu ruang paling belakang dengan pintu pojok kiri itu sedikit membuatku penasaran. Tapi bunyi pesan Mia yang dari tadi terus memekikkan telingaku memaksaku untuk memperhatikannya lebih dulu. Panntatku menginjak lantai yang tadinya di injak kaki yang berselimut kaos kaki coklat muda. Tidak! Layar datar ini sudah menunjukan angka 10% di pojok kanan bawah. Panikku mulai membara. Segera kukeluarkan chargernya. Kali ini hanya tinggal menancapkannya pada kontak yang tersedia. Namun hal ini mengingatkanku kembali pada masa pahit SMA yang tak bisa kulupakan.

“Nik, tolong dong,,,”pinta Nina sambil menyerahkan colokkannya.
“sini,,,”
Kugapai colokkan itu dan ku tancapkan pada kontak putih di dinding ungu kamar Nina layaknya pelajar TK yang memainkan puzzle dengan mahirnya.
“yeeeaaaa,,,, lampunya cantik Nik,,, mungkin karya kita akan menjadi yang terbaik,,, ”
Aku hanya mengangguk. Menggambarkan betapa fokusnya aku pada proyek yang sudah satu bulan lebih kami tekuni. Tanpa ragu, ku lepas lampu bercat merah itu dari feetnya. Treeettt,, sentakkan listrik itu kurasakan. Meski hanya lemah, energinya menggertakku. Cukup membuatku mundur dari medan perang.
“”Na,,, cabutin dong....” pintaku pada Nana yang tak tau secuiul pun akan kejadan yang menurutku dahsyat itu.
“oke deh,,, nah,, sekarang tinggal tahap terakhir merangkai ini. pakai lem lilin aja ya?? ”
“ya,,,” jawabku layu.
Perakitan lampion cantik itu cukup menghiburku. Sehingga ku lupakan gejala trauma yang mengancam hidupku. Akhirnya lampion 25 cm itu kmi selesaikan. Cukup membuatku terpukau, apa ini buatanku??? Dengan sigap kugapai colokkan yang sama untuk bermain puzzle untuk yang kedua kalinya. Cussss,,,,, letusan kecil itu menarik pita suaraku untuk keluar maksimal. Nafasku berestafet kencang antara tarik dan hembus. Keringat dingin itu terpencar dari pori-pori. Muka merah, panik dan memaksaku untuk tak sadarkan diri dari dunia.

Semenjak saat itu keberanianku menancapkan colokan mulai hilang. Tapi aku biisa melawannya di tempat mana aku sudah bediam lama, kontrakanku. Tapi ini bukan kontrakanku. Mia masih memanggil lewat obrolan. Tanganku sudah mendekati dua lubang kecil penuh misteri sejak beberapa tahun itu. kukumpulkan kuda-kuda pemberani yang masih tersisa dalam jiwaku, untuk berpacu melawan ketakutan akan takutnya diri pada hal kecil yang mungkin hanya aku yang menakutinya.
“hanya dua lubang kecil” kalimat itu berusaha ku ucapkan berulang kali untuk menenangkan diri yang tak kunjung tenang.
Cusss,,,,, bunyi itu terulang kembali. Tubuhku terlihat sama seperti beberapa tahun silam. Aku tetap berusaha untuk membuka mataku, melihat seramnya dunia. Melebihi suramnya muka kuntilanak kesurupan. Teriakan yang sudah kupancarkan beberapa detik lalu tampaknya tak menggetarkan gendang telinga seseorang.  Aku hanya bisa berusaha menenangkan diri sendiri. Aku tak mau pingsan disini. Tapi nafas yang juga panik ini menggambrkan hal lain yang tak kusukai. Pasrah, mungkin jalan yang akan ku pilih. Hatiku mulai komat-kamit berdo’a. Berharap suatu keajaiban akan terjadi di sela musibah yang sedang kuhadapi ini. perlahan mataku mulai menyerah, perlahan mulai gelap, perlahan mulai kosong.
Satu titik cahaya kini terlihat. Perlahan semua cahaya kembali berkumpul pada mataku. Bersama dengan wangi balsem yang menyengat hidung. Bantal nyaman ini cukup menenangkanku. Berpikir aku tak akan mati semudah itu.
“udah sadar??” suara berat yang tertahan jakun itu mengejutkanku.
Tatapanku mulai menatap keatas, dimana pemilik bantal paha yang tengah kunikmati. Koneksi otakku mulai tersambung pada kejadian pagi tadi. Ya, pria yang sama. Tapi badanku masih belum siaga untuk beranjak. Aku masih belum terbayangkan adegan drama yang ku tonton malam tadi mengimbas kehidupan nyataku. Ah, mana mungkin? Paling cuma kebetulan.  Panikku sebenarnya masih berkobar. Namun ekspres itu tak dapat ku keluarkan saat ini. bisa-bisa maluku naik 100o kalau salah berbuat satu gerak saja. Perlahan ku angkaat massa badanku dengan kekuatan yang masih tersisa. Tapi sepertinya ada perbedaan dengan drama malam tadi, pemeran cowoknya membantu si cewek bangkit. Sepertinya nih cowok cuek abiss,,,
“udah baikan???” tanyanya dengan muka datar miliknya.
“hmmm,,,”anggukkanku sepertinya belum meyakinkannya.



Bersambung………