Saturday, November 15, 2014

Cerpen/Cerbung: Surat Cinta untuk Izrail



 Surat Cinta untuk Izrail

Suara gaduh itu masih mengganggu telinga Sheny. Sama seperti hari-hari biasa. Sheny hanya diam mennggapinya. Meski dalam hati pemberontak sudah siap siaga, segera dikeluarkan headset hitam dari tas ransel hitam miliknya. Tas itu masih tampak baru atau masih terlihat terawat kalaupun itu sudah tua. Ia hanya menggantung satu saluran ke telinga yang tertutup jilbab putih itu. Namun volume satu saluran itu di stelnya full hingga tombol MP3 biru itu tak memberikan perubahan pada lagu mellow yang tengah membawanya.
Posisi sudut kanan belakang tanpa teman sebangku tanpaknya sudah menjadi rumah baginya semenjak empat bulan namanya terdaftar di sekolah yang tergolong elit itu. Namun tak ada satu pun dari mereka yang mau mengisi kekosongan di sampingnya. Jadi selama itu ia hanya sendiri bersama bangku kosong tak bersalah itu.
Kelas masih berteriak akan tawa 25 murid yang belum mencapai setengah tahun usianya di SMA favorit itu.
Pak Aziz masuk. Guru matematika yang terkenal killer degan penampilan yang selalu rapi. Kali ini sepetu kulit coklat mengkilat. Kemeja biru lengan panjang licin sewarna dengan MP3 Sheny jelas tergambar betapa perhatian Buk Farida padanya. Sungut yang antara ada dan tiada, sedikit membuatnya tanpak lebih muda dari usianya yang sebentar lagi akan mencapai kepala 5. Rambut yang sudah hilang dibagian tengah berseling putih hitam pun menggambarkan betapa keras otaknya berpikir setiap hari tentang soal yang akan disuguhkannya pada murid-muridnya.
Kakinya sudah melewati pintu jati coklat itu. Kali ini pak Aziz membawa siswa yang mukanya masih sangat asing bagi siswa kelas X-3 yang masih asyik dengan  urusannya masing-masing.
“hmmmmmm...!!!” dehaman keras itu mengheningkan kelas suntuk itu seketika. Cukup menggoreskan kerutan di dahi si anak baru yang berada di sampingnya. Sedang Sheny yang memperlihatkan wajah tak bersalah terus menatap ke titik perhatian sambil mendengarkan musik yang dari tadi belum di hentiikannya. Muka asing itu tampak tak menarik hati gadis kulit putih bersih itu.
“Hai,,,, nama.... Bima Anggara, asal sekolah... SMA Harapan Bakti....udah Pak,,,,”gaya coolnya menjadikannya pusat mata seketka. Terutama mata gadis-gadis yang penuh harapan.
“Silahkan duduk di bangku yang kosong,,,”perintah pak Aziz spontan mengejutkan Sheny yang masih mendengarkan lagu galau. Semua mata menatap Sheny. Tampak wajah yang tak ikhlas pada posisinya. Terutama Lyana. Gadis yang sedang menjadi trending topik para siswa. Cantik, kaya, pintar selalu menjadi tolak ukur mereka. Sepertinya Lyana juga punya ketertarikan pada Bima sang anak baru itu. Tapi itu bukan masalah bagi Sheny. Cewek paling acuh.
“Hi,,,” sapaan itu tanpak ikhlas keluar dari cowok berambut berdiri itu.
                Sheny hanya mengangguk dengan ekspresi datar. Kemudian kembali pada tatapannya yang lurus ke depan. Kali ini ia sudah melepas headsetnya. Sesekali ia menunduk menatap buku bilingual yang sudah terkambang dari tadi. Bima tak peduli sikap aneh itu. Ia menganggapnya sebagai perlakuan biasa terhadap anak baru sepertinya. Apalagi cewek dingin kayak gitu.
                Istirahat kali ini tampak berbeda. Semuanya menuju arah pojok kanan belakang. Berlomba mencari perhatian Bima, cowok putih tinggi, memenuhi kriteria cowok perfek yang diidamkan gadis seusianya. Segudang pertanyaan menghantamnya sekaligus. Jiwa SMA yang seperti ini membuatnya bosan seketika. Sesuatu yang tak menantang. Perhatian ini dengan mudah ia dapatkan. Sama seperti di sekolahnya yang dahulu. Tapi jawaban singkat, padat, jelas yang dilontarkan sesekali dicampurnya dengan senyum yang membuatnnya makin keren di mata para gadis. Pikiran awalnya itu tak menggambarkan kebosanannya.
“permisi,,,,, nanti aja ngobrolnya ya,,,aku keliling dulu,,,” caranya menghindar tampak lebih sopan dari penampilannya. Seketika ia berlalu meninggalkan gerombolan penuh harap padanya. Kedipan sayu langsung tergambar di mata mereka setelah beberapa saat sebelumnya matanya terus menganga tanpa kedip hanya untuk Bima.
Benar saja, Bima hanya kelilling sekolah dua lantai yang terbagi atas empat gedung itu. gedung A menjadi tempat pijaknya kali ini. tak ada sesuatu yang special baginya. Suasana tampak sama seperti sekolahnya dulu. Bangunannya pun mirip. Entah plagiat yang mana? Hanya mata bima tak dipenuhi kuning muda lagi seperti cat yang menyelimuti dinding sekolahnya dulu. Ia harus menyesuaikan diri dengan hijau terang yang merupkan salah satu warna papan bawah menurutnya. Suasana istirahat yang cukup gaduh memaksanya menjauhi keramaian. Jiwanya belum bisa menerima kepindahannya ini. paksaan ayahnya yang baru saja menetapkan talak tiga pada ibu tercinta menjadi faktornya. Sebagai anak tunggal pemilik perusahaan tekstil yang sedang mencapai puncak ia tak berdaya sedikit pun. Kemewahan yang sudah dari dulu di dapatkannya terasa mengikatnya erat. Sekarang ibu hanya sendiri.
Sebatang pohon alpukat ukuran sedang itu tampak terpencil sendiri. Namun cukup ridang tampaknya. Keheningan pun ikut mewarai. Bima melaangkah menujunya. Mnuju pohon tampa teman. Hari pertama ini sebenarnya tak terlalu buruk. Hanya saja beban pikiran masih dipiulnya berat. Ia sandarkan punggungnya ke batang itu. Buahnya sudah tampak menggantung, namun masih belia. Mungkin akan menggigit lidah penikmat yang berharap itu manis padahal pahit sekali. Tapi pikiran itu tak dipikirnya. Sepoi angin pukul 11 berusaha dinkmatinya agar tak ketinggalan seedetik pun. Hembusan itu bagai mengusapnya, ditambah nyayian suling dari sekelompok pohon banbu yang jauh 100 meter darinya terdegar menambah nyanyian tidur siangnya. Hingga ia terlelap.
Tak ada yang tau diamana ia kini. Setengah jam sudah lelap itu dijalaninya tanpa ingat pelajaran pak Aziz masih ada satu jam lagi setelah jam istirahat ii usai. Bebanya terlanjur dibuai angan-angan siul bambu. Iuuuuuu....... bunyi sarine tanda istirahat usai telah mengemukakan suaranya. Tak ada satu respon pun dari Bima.
Auuu!!!! Ia terbangun. Tangannya menutupi bagian dahi yang terasa sakit. Sepertinya sesuatu yang keras tept mendarat di tulang frontalnya.

No comments:

Post a Comment