Surat Cinta untuk Izrail
Suara gaduh itu masih mengganggu telinga Sheny. Sama seperti hari-hari
biasa. Sheny hanya diam mennggapinya. Meski dalam hati pemberontak sudah siap
siaga, segera dikeluarkan headset hitam dari tas ransel hitam miliknya. Tas itu
masih tampak baru atau masih terlihat terawat kalaupun itu sudah tua. Ia hanya
menggantung satu saluran ke telinga yang tertutup jilbab putih itu. Namun
volume satu saluran itu di stelnya full hingga tombol MP3 biru itu tak
memberikan perubahan pada lagu mellow yang tengah membawanya.
Posisi sudut kanan belakang tanpa teman sebangku tanpaknya sudah
menjadi rumah baginya semenjak empat bulan namanya terdaftar di sekolah yang
tergolong elit itu. Namun tak ada satu pun dari mereka yang mau mengisi
kekosongan di sampingnya. Jadi selama itu ia hanya sendiri bersama bangku
kosong tak bersalah itu.
Kelas masih berteriak akan tawa 25 murid yang belum mencapai setengah
tahun usianya di SMA favorit itu.
Pak Aziz masuk. Guru matematika yang terkenal killer degan penampilan
yang selalu rapi. Kali ini sepetu kulit coklat mengkilat. Kemeja biru lengan
panjang licin sewarna dengan MP3 Sheny jelas tergambar betapa perhatian Buk
Farida padanya. Sungut yang antara ada dan tiada, sedikit membuatnya tanpak
lebih muda dari usianya yang sebentar lagi akan mencapai kepala 5. Rambut yang
sudah hilang dibagian tengah berseling putih hitam pun menggambarkan betapa
keras otaknya berpikir setiap hari tentang soal yang akan disuguhkannya pada
murid-muridnya.
Kakinya sudah melewati pintu jati coklat itu. Kali ini pak Aziz membawa
siswa yang mukanya masih sangat asing bagi siswa kelas X-3 yang masih asyik
dengan urusannya masing-masing.
“hmmmmmm...!!!” dehaman keras itu mengheningkan kelas suntuk itu
seketika. Cukup menggoreskan kerutan di dahi si anak baru yang berada di
sampingnya. Sedang Sheny yang memperlihatkan wajah tak bersalah terus menatap
ke titik perhatian sambil mendengarkan musik yang dari tadi belum di
hentiikannya. Muka asing itu tampak tak menarik hati gadis kulit putih bersih
itu.
“Hai,,,, nama.... Bima Anggara, asal sekolah... SMA Harapan
Bakti....udah Pak,,,,”gaya coolnya menjadikannya pusat mata seketka. Terutama
mata gadis-gadis yang penuh harapan.
“Silahkan duduk di bangku yang kosong,,,”perintah pak Aziz spontan
mengejutkan Sheny yang masih mendengarkan lagu galau. Semua mata menatap Sheny.
Tampak wajah yang tak ikhlas pada posisinya. Terutama Lyana. Gadis yang sedang
menjadi trending topik para siswa. Cantik, kaya, pintar selalu menjadi tolak
ukur mereka. Sepertinya Lyana juga punya ketertarikan pada Bima sang anak baru
itu. Tapi itu bukan masalah bagi Sheny. Cewek paling acuh.
“Hi,,,” sapaan itu tanpak ikhlas keluar dari cowok berambut berdiri
itu.
Sheny hanya mengangguk dengan
ekspresi datar. Kemudian kembali pada tatapannya yang lurus ke depan. Kali ini
ia sudah melepas headsetnya. Sesekali ia menunduk menatap buku bilingual yang
sudah terkambang dari tadi. Bima tak peduli sikap aneh itu. Ia menganggapnya
sebagai perlakuan biasa terhadap anak baru sepertinya. Apalagi cewek dingin kayak
gitu.
Istirahat kali ini
tampak berbeda. Semuanya menuju arah pojok kanan belakang. Berlomba mencari
perhatian Bima, cowok putih tinggi, memenuhi kriteria cowok perfek yang
diidamkan gadis seusianya. Segudang pertanyaan menghantamnya sekaligus. Jiwa
SMA yang seperti ini membuatnya bosan seketika. Sesuatu yang tak menantang.
Perhatian ini dengan mudah ia dapatkan. Sama seperti di sekolahnya yang dahulu.
Tapi jawaban singkat, padat, jelas yang dilontarkan sesekali dicampurnya dengan
senyum yang membuatnnya makin keren di mata para gadis. Pikiran awalnya itu tak
menggambarkan kebosanannya.
“permisi,,,,, nanti aja ngobrolnya ya,,,aku keliling dulu,,,” caranya
menghindar tampak lebih sopan dari penampilannya. Seketika ia berlalu
meninggalkan gerombolan penuh harap padanya. Kedipan sayu langsung tergambar di
mata mereka setelah beberapa saat sebelumnya matanya terus menganga tanpa kedip
hanya untuk Bima.
Benar saja, Bima hanya kelilling sekolah dua lantai yang terbagi atas
empat gedung itu. gedung A menjadi tempat pijaknya kali ini. tak ada sesuatu
yang special baginya. Suasana tampak sama seperti sekolahnya dulu. Bangunannya
pun mirip. Entah plagiat yang mana? Hanya mata bima tak dipenuhi kuning muda
lagi seperti cat yang menyelimuti dinding sekolahnya dulu. Ia harus
menyesuaikan diri dengan hijau terang yang merupkan salah satu warna papan
bawah menurutnya. Suasana istirahat yang cukup gaduh memaksanya menjauhi
keramaian. Jiwanya belum bisa menerima kepindahannya ini. paksaan ayahnya yang
baru saja menetapkan talak tiga pada ibu tercinta menjadi faktornya. Sebagai
anak tunggal pemilik perusahaan tekstil yang sedang mencapai puncak ia tak
berdaya sedikit pun. Kemewahan yang sudah dari dulu di dapatkannya terasa
mengikatnya erat. Sekarang ibu hanya sendiri.
Sebatang pohon alpukat ukuran sedang itu tampak terpencil sendiri. Namun
cukup ridang tampaknya. Keheningan pun ikut mewarai. Bima melaangkah menujunya.
Mnuju pohon tampa teman. Hari pertama ini sebenarnya tak terlalu buruk. Hanya
saja beban pikiran masih dipiulnya berat. Ia sandarkan punggungnya ke batang
itu. Buahnya sudah tampak menggantung, namun masih belia. Mungkin akan
menggigit lidah penikmat yang berharap itu manis padahal pahit sekali. Tapi
pikiran itu tak dipikirnya. Sepoi angin pukul 11 berusaha dinkmatinya agar tak
ketinggalan seedetik pun. Hembusan itu bagai mengusapnya, ditambah nyayian
suling dari sekelompok pohon banbu yang jauh 100 meter darinya terdegar
menambah nyanyian tidur siangnya. Hingga ia terlelap.
Tak ada yang tau diamana ia kini. Setengah jam sudah lelap itu
dijalaninya tanpa ingat pelajaran pak Aziz masih ada satu jam lagi setelah jam
istirahat ii usai. Bebanya terlanjur dibuai angan-angan siul bambu.
Iuuuuuu....... bunyi sarine tanda istirahat usai telah mengemukakan suaranya.
Tak ada satu respon pun dari Bima.
Auuu!!!! Ia terbangun. Tangannya menutupi bagian dahi yang terasa
sakit. Sepertinya sesuatu yang keras tept mendarat di tulang frontalnya.
No comments:
Post a Comment