Cinta Kejut Listrik
Langkah kaki sudah kupersiapkan menuju tujuan hidup masa
ini. Tas hitam dengan bis abu-abu itu mungkin akan mendapat gejala overdosis,
menampung kegiatan 9 jam di tempat terjenuh dalam hidup. Namun punggungku masih
enggan menyandangnya. Perutku masih kosong pagi ini. Di meja persegi panjang
beralas kain seadanya itu belum memilliki beban apapun pagi ini. Hah,,,,, perasaan rindu orang tua mulai menghampiriku.
Mungkin 9 tahun sudah hal ini kurasakan. Saat dimana mereka pikir aku sudah
bisa mengurus diri sendiri. Bodohnya, aku menyetujui perjanjian perpisahan itu,
tanpa pikir jika sekali kumerasakan rindu, pekatnya batin ini bergejolak
akan memuntahkan lahar rindu yang sudah
terpedam lama, dalam sekali ledakan dahsyat. Meski kepala dua sudah kulewati
4 tahun lalu. Tapi sifat kekanak-kanakan
masih mendarah daging dalam tubuh yang mungkin akan mencapai 165 ini.
Tong, teng,,,!!! Jam tua pemberian Atuk mengejutkan
lamunan pagiku. Biasanya kadang bersuara kadang tak berbunyi, bahkan berhenti
berputar pada porosnya. Tapi kali ini entah apa yang menyemangati, ia berdetak
mulus tanpa rintangan yang berarti. Dentangan antar besi tua itu selaras
mengingatkan angkot langgananku yang mungkin telah menuggu di depan gang sempit
berdinding lukisan liar. Tanpa isi, perutku lupa akan nutrisi yang belum didapat
pagi ini. Benar saja, Bang Ujang telah datang. Kaki setengah tegap berdiri
dengan topangan mobil yang kuat berdiri. Asap rokoknya sudah mencemari embun
pagi. Kumis lebat tanpa jenggot, yang mungkin belum dibersihkannya. Tampak dari
tiga butir nasi putih telah hinggap di sela-sela kumis itu entah sejak kapan. Tatapannya
masih sayu padaku. Sekejap tatapan itu berayun menuju pintu angkot tak berdaun
miliknya. Pertanda menyuruhku masuk pada deretan jiwa yang semangat memulai hidup. Bang Ujang
kini bertopang pada kakinya 100%, lalu membawa badannya menuju pintu berdaun
disebelah kanan. Mungkin dia menganggapku sudah mengerti akan isyarat kecil
itu. Mengingat ia sudah melakukannya sejak dua tahun silam, ketika pertama kali
aku memilih tinggal di pemukiman padat untuk melanjutkan S2ku setelah vakum
satu tahun. Kunaiki angkot kuning terang itu. Muka cemas, senang, kusam, bahkan
muka datar pun lengkap didalamnya. Meski ku tau pemukiman ini heterogen, tapi
belum sampai pikiranku tentang muka yang heterogen pula.
Treeetttt,,, rem Bang Ujang kelihatan sudah tua. Meski
rem itu tak di paksa kerja keras, namun lima menit diatasnya enam kali
berhenti, enam kali pula rem itu berbunyi seperti rem pada pembalap yang
berhenti setelah gas maximum yang dimiliki. Pandanganku tak sampai mencapai
pemandangan luar sana. Sehingga tak kuketahui siapa orang ketujuh yang menyetop
angkot Bang Ujang.
“Nik, geser!!!” Bang Ujang mengejutkanku. Pandanganku
reflek menuju semua penumpang yang memang sudah bersusun rapat tanpa spasi.
Sedang bangku yang aku duduki belum mencapai 5 kepala seperti peraturan yang
berlaku. Tapi untuk bergeser lebih rasanya tak mungkin lagi. Pasalnya Mbak Yati
sudah terlebih dulu mengambil dua bangku dengan badan doublenya. Tapi untuk
urusan bayaran ya tetap untuk satu bangku.
“bangku lima geser!!!” suara Bang Ujang sepertinya mulai
kesal padaku. Mungkin takut peumpangnya lari begitu saja. Yang intinya ia juga
bakalan kehilangan uangnya. Meski ia sudah mngenaliku dua tahun lalu. Toh, aku
hanya penumpang, sama seperti yang lainnya. Menjadi pelanggan pun tak ada
perlakuan istimewa di matanya.
“ya Bang,,,,” teriakan lembut itu ku tuturkan padanya.
Sosok yang kurasa belum pernah seangkot denganku itu
mulai menyelundupkan kepalanya. Namun tak timbul keinginanku menatapnya lebih.
Kualihkan padanganku lurus dengan badan yang menyemitkan diri sendiri. Posisiku
tepat di samping pintu tak berdaun itu. Namun kini akan digeser oleh penumpang
baru itu. Aku tak yakin sisa kursi
panjang itu cukup olehnya. Untuk badan seukuran dia mungkin hanya seperempat bokongnya. Bukan karna badannya
besar, tapi memang luas kursi yang minim. Kasihan, berusaha kukecilkan badanku.
Tapi tetap saja tak ada perubahan yang berarti.
“Hmmmm,,, bisa duduk kan??” kata itu ku pasangkan dengan
nada lembut. Seperti biasannya aku jika bicara dengan orang yang baru kukenal.
“nggak pa-pa kok, dekat kok,,, ” Kata-katanya membuatku
lega. Nggak perlu menahan napasku untuk tetap kecil. Kalau dia bilang nggak
pa-pa ya, mungkin itu sudah biasa baginya. Lagian dia seorang laki-laki.
Treeeetttt!!! Rem Bang Ujang kembali berbunyi. Kali ini
bukan karena penumpang baru atau penumpang yang mau turun. Tapi memang berhenti
mendadak yang selaras dengan suara rem yang keras itu. Bahkan lebih keras dari
biasanya.
“kamprettt,,,,, tuh anjing” kata itu keluar dengan
mudahnya dari mulut Bang Ujang. Mungkin senada dengan lampiasan rasa
terkejutnya yang takut mati. Kurasakan badanku terbawa oleh hukum kelembaman ke
arah depan. Namun tertahan akan sesuatu. Penahan yang membuatku merasa nyaman
hinggaku rasakan semua gaya menjadi nol sama dengan kecepatan angkot ini. Mataku
terpejam secara reflek. Perlahan mataku
mulai kubuka. Sebuah telapak tangan kanan itu sudah mendarat di bahu kananku. Lengannya
pun mengikuti garis pundak dari kiri ke
kanan. Perasaan ini spontan berubah. Berubah sealun dengan percepatan denyut
jantung yang tak mau kalah berlari. Bersama detakan keras ini perlahan ku
tolehkan wajahku ke arah kiri. Pertama kali ku memandangnya dengan sempurna.
Namun masih kabur akan silhuet tajam pagi ini. Tangan kirinya masih berpegang
pada ganggang pintu yang masih tersisa sebagai penahan beratnya juga aku yang
45 ini. Sedang ia masih tajam menatap ke arah depan dengan sedikit kerutan dahi
tanda cemas. Nafasnya cepat bergantian antara inspirasi dan ekspirasi. Dalam
darurat ini masih saja kupikirkan ekspresinya yanng sangat berlebihan itu.
1,2,3,4,5,..... Dor!!!! Sadarku terbangun. Aku terlalu
lama memandangnya. Namun tangannya masih erat padaku. Kejutan sadarku
menghasilkan gerakan sontan reflek yang cepat. Membuatnya sedikit terkejut.
Sadar pula akan tanngannya secepat kilat dielakkannya menuju titik poros
tubuhnya. Keningnya yang tadi berkerut kini mulai tegang dan memuai akan
panasnya suhu tubuhnya, kali ini bersamaan dengan merah tomat menghampiri
wajahnya. Aku hanya terdiam. Koneksiku terputus akan dunia. Tak ada sepatah
kata pun yang keluar seiring angkot melaju kembali. Hanya hening kurasa. Tak
terdengar satu pun pekikan dunia di gendang telinga, meski Mbak Yati menikmati
ocehan gunjingannya tentang Mbak Ratna tetangganya. Mataku hanya menatap telapak
tangan yang bergerak dan bermain pertanda cemas, panik, dan campur di hati ini.
Darinya keluar cairan keringat yang biasanya hanya muncul saat aku gerogi di
mimbar saat pidato.
“Nik! Mau turun nggak?” bentakan Bang Ujang yang sudah
biasa bagiku itu memutus lamunan panjang pagi buta. Tak kulihat sosok lain di
angkot itu lagi selain aku dan Bang Ujang. Tak kuketahui kapan mereka lenyap
dari pandanganku.
“i..iya Bang . Makasih”
sehelai uang dua ribu rupiah ku daratkan saja di tangnannya.
Pikiranku masih berjalan memikirkan
pria di angkot tadi sealun langkah kaki cepat yang ku pasang menuju kelas pagi
ini. berharap pikira ini bisa hilang seiring waktu berlalu. Ya, dia tidak akan
bertemu lagi denganku. Lagi pula dia tidak melihat wajahku dengan jelas.
Hahhh,,,, udara kelas pagi ini sama
seperti biasa. Tak berubah sedikitpun, meski kalender si samping papan tulis
kusam itu telah menunjukkan angka yang berbeda.
Kulangkahkan kaki dengan sepatu dongker bis putih menuju bangku di pojok
kiri belakang, tempat ternyaman untuk tidur dalam belajar. Meja anak kuliahan
ini kududuki dengan perasaan kurang puas, lantanran bidangnya terlalu sempit
untuk menopang kepala yang dibungkus jilbab hitamku. Tapi kali ini tak ada
sedikitpun niat hatiku untuk melelapkan diri. Kukeluarkan notebook yang telah
jenuh kusimpan dalam tas ransel. Facebook menjadi sasaran awalku. Melihat gosip
dunia maya yang tak pernah kuno sejak beberapa tahun lalu menjadi tren dunia
khususnya remaja.
Ah,, kelas yang membosankan. Dari tadi
hanya aku dan janet yag menghuninya. Cewek terpendek yang juga dikenal muslimah
plus pendiam itu masih belum mengeluarkan sepatah kata pun sejak aku menghuni
kelas 5x5 bercat kuning pucat itu. buku sirah nabi yang dipegangnya tampak baru
dibelinya kemarin. Warnanya masih mengkilap. Tapi halaman yang di tatapnya
sudah melebihi setengah buku.
“An, kok belum ada yang datang?”
tanyaku memecah sunyi pagi hari.
“kata Mila, dosen kita nggak datang
hari ini.” jawabnya datar.
Emosiku hampir menuju vertexnya. Tapi
ya gimana lagi? Toh orangnya kayak gitu. Marah pun mungkin telinganya nggak
bakalan dengar. Memang sikap antisosialnya tak dapat ditolerir. Entah sengaja
atau tidak, tak ada malu pada dirinya untuk memilih jalan ini. mungkin baginya
nilai adalah segalanya. Tapi bagiiku nilai hanyalah angka dan huruf yang
dipadukan sesukanya di kertas datar yang kabarnya pernah membunuh mahasiswa
kampus ini. ironis memang, tapi inilah hidup.
Tanpa kata kulangkahkan kakiku menuju
udara segar dari pohon alpukat di depan kelas kami. janet mungkin tak akan
menyadariku. Atau jika ia menyadari, mungkin ia akan pura-pura tak sadar.
Mungkin lagi dia ratusan kali bilang syukur di hatinya. Sudahlah,, buat apa
mikirin temn yang nggak mikirin teman. Tapi otakku masih berpikir kemana tempat
lain yang bisa menampugku untuk tetap ol dengan Mia yang sudah tadi menyebarkan
gosip terhangat kmpus hari ini. hmmm... oh ya. Ruang seni sebelah sana mungkin
sedang kosong. Lagipula siapa yang mau masuk ruang seni yang tak lengkap itu.
ditambah letaknya yang sangat tak strategis. Terpecil. Juga terkenal denan
cerita horor yang cukup menakutkan. Tapi hal seperti itu tak akan menjadi titik
kelemahanku. Karna aku tak percaya pada hal yang demikian. Bagiku itu hanyalah
hayalan dan imajinasi oranng-orang penakut.
Ini pertama kalinya aku memasukinya. Semua maja dan kursi menepi seolah tak boleh
diduduki. Lumayan luas ternyata. Tampaknya cukup terawat. Lantai marmar coklat
itu tampak baru saja di sapu. Peralatan seni yang tersedia pun tertata rapi.
Tapi detik ini belum tampak tanda-tanda kehidupan yang terasa. Satu ruang
paling belakang dengan pintu pojok kiri itu sedikit membuatku penasaran. Tapi
bunyi pesan Mia yang dari tadi terus memekikkan telingaku memaksaku untuk
memperhatikannya lebih dulu. Panntatku menginjak lantai yang tadinya di injak
kaki yang berselimut kaos kaki coklat muda. Tidak! Layar datar ini sudah
menunjukan angka 10% di pojok kanan bawah. Panikku mulai membara. Segera
kukeluarkan chargernya. Kali ini hanya tinggal menancapkannya pada kontak yang
tersedia. Namun hal ini mengingatkanku kembali pada masa pahit SMA yang tak
bisa kulupakan.
“Nik, tolong dong,,,”pinta Nina sambil
menyerahkan colokkannya.
“sini,,,”
Kugapai colokkan itu dan ku tancapkan
pada kontak putih di dinding ungu kamar Nina layaknya pelajar TK yang memainkan
puzzle dengan mahirnya.
“yeeeaaaa,,,, lampunya cantik Nik,,,
mungkin karya kita akan menjadi yang terbaik,,, ”
Aku hanya mengangguk. Menggambarkan
betapa fokusnya aku pada proyek yang sudah satu bulan lebih kami tekuni. Tanpa
ragu, ku lepas lampu bercat merah itu dari feetnya. Treeettt,, sentakkan
listrik itu kurasakan. Meski hanya lemah, energinya menggertakku. Cukup
membuatku mundur dari medan perang.
“”Na,,, cabutin dong....” pintaku pada
Nana yang tak tau secuiul pun akan kejadan yang menurutku dahsyat itu.
“oke deh,,, nah,, sekarang tinggal
tahap terakhir merangkai ini. pakai lem lilin aja ya?? ”
“ya,,,” jawabku layu.
Perakitan lampion cantik itu cukup
menghiburku. Sehingga ku lupakan gejala trauma yang mengancam hidupku. Akhirnya
lampion 25 cm itu kmi selesaikan. Cukup membuatku terpukau, apa ini buatanku???
Dengan sigap kugapai colokkan yang sama untuk bermain puzzle untuk yang kedua
kalinya. Cussss,,,,, letusan kecil itu menarik pita suaraku untuk keluar
maksimal. Nafasku berestafet kencang antara tarik dan hembus. Keringat dingin
itu terpencar dari pori-pori. Muka merah, panik dan memaksaku untuk tak
sadarkan diri dari dunia.
Semenjak saat itu keberanianku
menancapkan colokan mulai hilang. Tapi aku biisa melawannya di tempat mana aku
sudah bediam lama, kontrakanku. Tapi ini bukan kontrakanku. Mia masih memanggil
lewat obrolan. Tanganku sudah mendekati dua lubang kecil penuh misteri sejak
beberapa tahun itu. kukumpulkan kuda-kuda pemberani yang masih tersisa dalam
jiwaku, untuk berpacu melawan ketakutan akan takutnya diri pada hal kecil yang
mungkin hanya aku yang menakutinya.
“hanya dua lubang kecil” kalimat itu
berusaha ku ucapkan berulang kali untuk menenangkan diri yang tak kunjung
tenang.
Cusss,,,,, bunyi itu terulang kembali.
Tubuhku terlihat sama seperti beberapa tahun silam. Aku tetap berusaha untuk
membuka mataku, melihat seramnya dunia. Melebihi suramnya muka kuntilanak
kesurupan. Teriakan yang sudah kupancarkan beberapa detik lalu tampaknya tak
menggetarkan gendang telinga seseorang.
Aku hanya bisa berusaha menenangkan diri sendiri. Aku tak mau pingsan
disini. Tapi nafas yang juga panik ini menggambrkan hal lain yang tak kusukai.
Pasrah, mungkin jalan yang akan ku pilih. Hatiku mulai komat-kamit berdo’a.
Berharap suatu keajaiban akan terjadi di sela musibah yang sedang kuhadapi ini.
perlahan mataku mulai menyerah, perlahan mulai gelap, perlahan mulai kosong.
Satu titik cahaya kini terlihat.
Perlahan semua cahaya kembali berkumpul pada mataku. Bersama dengan wangi
balsem yang menyengat hidung. Bantal nyaman ini cukup menenangkanku. Berpikir
aku tak akan mati semudah itu.
“udah sadar??” suara berat yang
tertahan jakun itu mengejutkanku.
Tatapanku mulai menatap keatas, dimana
pemilik bantal paha yang tengah kunikmati. Koneksi otakku mulai tersambung pada
kejadian pagi tadi. Ya, pria yang sama. Tapi badanku masih belum siaga untuk
beranjak. Aku masih belum terbayangkan adegan drama yang ku tonton malam tadi
mengimbas kehidupan nyataku. Ah, mana mungkin? Paling cuma kebetulan. Panikku sebenarnya masih berkobar. Namun
ekspres itu tak dapat ku keluarkan saat ini. bisa-bisa maluku naik 100o
kalau salah berbuat satu gerak saja. Perlahan ku angkaat massa badanku dengan
kekuatan yang masih tersisa. Tapi sepertinya ada perbedaan dengan drama malam
tadi, pemeran cowoknya membantu si cewek bangkit. Sepertinya nih cowok cuek
abiss,,,
“udah baikan???” tanyanya dengan muka
datar miliknya.
“hmmm,,,”anggukkanku sepertinya belum
meyakinkannya.
Bersambung………
No comments:
Post a Comment