Saturday, November 15, 2014

CERPEN



Cinta Kejut Listrik
 
Langkah kaki sudah kupersiapkan menuju tujuan hidup masa ini. Tas hitam dengan bis abu-abu itu mungkin akan mendapat gejala overdosis, menampung kegiatan 9 jam di tempat terjenuh dalam hidup. Namun punggungku masih enggan menyandangnya. Perutku masih kosong pagi ini. Di meja persegi panjang beralas kain seadanya itu belum memilliki beban apapun pagi ini. Hah,,,,,  perasaan rindu orang tua mulai menghampiriku. Mungkin 9 tahun sudah hal ini kurasakan. Saat dimana mereka pikir aku sudah bisa mengurus diri sendiri. Bodohnya, aku menyetujui perjanjian perpisahan itu, tanpa pikir jika sekali kumerasakan rindu, pekatnya batin ini bergejolak akan  memuntahkan lahar rindu yang sudah terpedam lama, dalam sekali ledakan dahsyat. Meski kepala dua sudah kulewati 4  tahun lalu. Tapi sifat kekanak-kanakan masih mendarah daging dalam tubuh yang mungkin akan mencapai 165 ini.
Tong, teng,,,!!! Jam tua pemberian Atuk mengejutkan lamunan pagiku. Biasanya kadang bersuara kadang tak berbunyi, bahkan berhenti berputar pada porosnya. Tapi kali ini entah apa yang menyemangati, ia berdetak mulus tanpa rintangan yang berarti. Dentangan antar besi tua itu selaras mengingatkan angkot langgananku yang mungkin telah menuggu di depan gang sempit berdinding lukisan liar. Tanpa isi, perutku lupa akan nutrisi yang belum didapat pagi ini. Benar saja, Bang Ujang telah datang. Kaki setengah tegap berdiri dengan topangan mobil yang kuat berdiri. Asap rokoknya sudah mencemari embun pagi. Kumis lebat tanpa jenggot, yang mungkin belum dibersihkannya. Tampak dari tiga butir nasi putih telah hinggap di sela-sela kumis itu entah sejak kapan. Tatapannya masih sayu padaku. Sekejap tatapan itu berayun menuju pintu angkot tak berdaun miliknya. Pertanda menyuruhku masuk pada deretan  jiwa yang semangat memulai hidup. Bang Ujang kini bertopang pada kakinya 100%, lalu membawa badannya menuju pintu berdaun disebelah kanan. Mungkin dia menganggapku sudah mengerti akan isyarat kecil itu. Mengingat ia sudah melakukannya sejak dua tahun silam, ketika pertama kali aku memilih tinggal di pemukiman padat untuk melanjutkan S2ku setelah vakum satu tahun. Kunaiki angkot kuning terang itu. Muka cemas, senang, kusam, bahkan muka datar pun lengkap didalamnya. Meski ku tau pemukiman ini heterogen, tapi belum sampai pikiranku tentang muka yang heterogen pula.
Treeetttt,,, rem Bang Ujang kelihatan sudah tua. Meski rem itu tak di paksa kerja keras, namun lima menit diatasnya enam kali berhenti, enam kali pula rem itu berbunyi seperti rem pada pembalap yang berhenti setelah gas maximum yang dimiliki. Pandanganku tak sampai mencapai pemandangan luar sana. Sehingga tak kuketahui siapa orang ketujuh yang menyetop angkot Bang Ujang.
“Nik, geser!!!” Bang Ujang mengejutkanku. Pandanganku reflek menuju semua penumpang yang memang sudah bersusun rapat tanpa spasi. Sedang bangku yang aku duduki belum mencapai 5 kepala seperti peraturan yang berlaku. Tapi untuk bergeser lebih rasanya tak mungkin lagi. Pasalnya Mbak Yati sudah terlebih dulu mengambil dua bangku dengan badan doublenya. Tapi untuk urusan bayaran ya tetap untuk satu bangku.
“bangku lima geser!!!” suara Bang Ujang sepertinya mulai kesal padaku. Mungkin takut peumpangnya lari begitu saja. Yang intinya ia juga bakalan kehilangan uangnya. Meski ia sudah mngenaliku dua tahun lalu. Toh, aku hanya penumpang, sama seperti yang lainnya. Menjadi pelanggan pun tak ada perlakuan istimewa di matanya.
“ya Bang,,,,” teriakan lembut itu ku tuturkan padanya.
Sosok yang kurasa belum pernah seangkot denganku itu mulai menyelundupkan kepalanya. Namun tak timbul keinginanku menatapnya lebih. Kualihkan padanganku lurus dengan badan yang menyemitkan diri sendiri. Posisiku tepat di samping pintu tak berdaun itu. Namun kini akan digeser oleh penumpang baru itu.  Aku tak yakin sisa kursi panjang itu cukup olehnya. Untuk badan seukuran dia mungkin hanya  seperempat bokongnya. Bukan karna badannya besar, tapi memang luas kursi yang minim. Kasihan, berusaha kukecilkan badanku. Tapi tetap saja tak ada perubahan yang berarti.
“Hmmmm,,, bisa duduk kan??” kata itu ku pasangkan dengan nada lembut. Seperti biasannya aku jika bicara dengan orang yang baru kukenal.
“nggak pa-pa kok, dekat kok,,, ” Kata-katanya membuatku lega. Nggak perlu menahan napasku untuk tetap kecil. Kalau dia bilang nggak pa-pa ya, mungkin itu sudah biasa baginya. Lagian dia seorang laki-laki.
Treeeetttt!!! Rem Bang Ujang kembali berbunyi. Kali ini bukan karena penumpang baru atau penumpang yang mau turun. Tapi memang berhenti mendadak yang selaras dengan suara rem yang keras itu. Bahkan lebih keras dari biasanya.
“kamprettt,,,,, tuh anjing” kata itu keluar dengan mudahnya dari mulut Bang Ujang. Mungkin senada dengan lampiasan rasa terkejutnya yang takut mati. Kurasakan badanku terbawa oleh hukum kelembaman ke arah depan. Namun tertahan akan sesuatu. Penahan yang membuatku merasa nyaman hinggaku rasakan semua gaya menjadi nol sama dengan kecepatan angkot ini. Mataku terpejam secara reflek.  Perlahan mataku mulai kubuka. Sebuah telapak tangan kanan itu sudah mendarat di bahu kananku. Lengannya pun  mengikuti garis pundak dari kiri ke kanan. Perasaan ini spontan berubah. Berubah sealun dengan percepatan denyut jantung yang tak mau kalah berlari. Bersama detakan keras ini perlahan ku tolehkan wajahku ke arah kiri. Pertama kali ku memandangnya dengan sempurna. Namun masih kabur akan silhuet tajam pagi ini. Tangan kirinya masih berpegang pada ganggang pintu yang masih tersisa sebagai penahan beratnya juga aku yang 45 ini. Sedang ia masih tajam menatap ke arah depan dengan sedikit kerutan dahi tanda cemas. Nafasnya cepat bergantian antara inspirasi dan ekspirasi. Dalam darurat ini masih saja kupikirkan ekspresinya yanng sangat berlebihan itu.
1,2,3,4,5,..... Dor!!!! Sadarku terbangun. Aku terlalu lama memandangnya. Namun tangannya masih erat padaku. Kejutan sadarku menghasilkan gerakan sontan reflek yang cepat. Membuatnya sedikit terkejut. Sadar pula akan tanngannya secepat kilat dielakkannya menuju titik poros tubuhnya. Keningnya yang tadi berkerut kini mulai tegang dan memuai akan panasnya suhu tubuhnya, kali ini bersamaan dengan merah tomat menghampiri wajahnya. Aku hanya terdiam. Koneksiku terputus akan dunia. Tak ada sepatah kata pun yang keluar seiring angkot melaju kembali. Hanya hening kurasa. Tak terdengar satu pun pekikan dunia di gendang telinga, meski Mbak Yati menikmati ocehan gunjingannya tentang Mbak Ratna tetangganya. Mataku hanya menatap telapak tangan yang bergerak dan bermain pertanda cemas, panik, dan campur di hati ini. Darinya keluar cairan keringat yang biasanya hanya muncul saat aku gerogi di mimbar saat pidato.
“Nik! Mau turun nggak?” bentakan Bang Ujang yang sudah biasa bagiku itu memutus lamunan panjang pagi buta. Tak kulihat sosok lain di angkot itu lagi selain aku dan Bang Ujang. Tak kuketahui kapan mereka lenyap dari pandanganku.
“i..iya Bang . Makasih” sehelai uang dua ribu rupiah ku daratkan saja di tangnannya.
Pikiranku masih berjalan memikirkan pria di angkot tadi sealun langkah kaki cepat yang ku pasang menuju kelas pagi ini. berharap pikira ini bisa hilang seiring waktu berlalu. Ya, dia tidak akan bertemu lagi denganku. Lagi pula dia tidak melihat wajahku dengan jelas.
Hahhh,,,, udara kelas pagi ini sama seperti biasa. Tak berubah sedikitpun, meski kalender si samping papan tulis kusam itu telah menunjukkan angka yang berbeda.  Kulangkahkan kaki dengan sepatu dongker bis putih menuju bangku di pojok kiri belakang, tempat ternyaman untuk tidur dalam belajar. Meja anak kuliahan ini kududuki dengan perasaan kurang puas, lantanran bidangnya terlalu sempit untuk menopang kepala yang dibungkus jilbab hitamku. Tapi kali ini tak ada sedikitpun niat hatiku untuk melelapkan diri. Kukeluarkan notebook yang telah jenuh kusimpan dalam tas ransel. Facebook menjadi sasaran awalku. Melihat gosip dunia maya yang tak pernah kuno sejak beberapa tahun lalu menjadi tren dunia khususnya remaja.
Ah,, kelas yang membosankan. Dari tadi hanya aku dan janet yag menghuninya. Cewek terpendek yang juga dikenal muslimah plus pendiam itu masih belum mengeluarkan sepatah kata pun sejak aku menghuni kelas 5x5 bercat kuning pucat itu. buku sirah nabi yang dipegangnya tampak baru dibelinya kemarin. Warnanya masih mengkilap. Tapi halaman yang di tatapnya sudah melebihi setengah buku.
“An, kok belum ada yang datang?” tanyaku memecah sunyi pagi hari.
“kata Mila, dosen kita nggak datang hari ini.” jawabnya datar.
Emosiku hampir menuju vertexnya. Tapi ya gimana lagi? Toh orangnya kayak gitu. Marah pun mungkin telinganya nggak bakalan dengar. Memang sikap antisosialnya tak dapat ditolerir. Entah sengaja atau tidak, tak ada malu pada dirinya untuk memilih jalan ini. mungkin baginya nilai adalah segalanya. Tapi bagiiku nilai hanyalah angka dan huruf yang dipadukan sesukanya di kertas datar yang kabarnya pernah membunuh mahasiswa kampus ini. ironis memang, tapi inilah hidup.
Tanpa kata kulangkahkan kakiku menuju udara segar dari pohon alpukat di depan kelas kami. janet mungkin tak akan menyadariku. Atau jika ia menyadari, mungkin ia akan pura-pura tak sadar. Mungkin lagi dia ratusan kali bilang syukur di hatinya. Sudahlah,, buat apa mikirin temn yang nggak mikirin teman. Tapi otakku masih berpikir kemana tempat lain yang bisa menampugku untuk tetap ol dengan Mia yang sudah tadi menyebarkan gosip terhangat kmpus hari ini. hmmm... oh ya. Ruang seni sebelah sana mungkin sedang kosong. Lagipula siapa yang mau masuk ruang seni yang tak lengkap itu. ditambah letaknya yang sangat tak strategis. Terpecil. Juga terkenal denan cerita horor yang cukup menakutkan. Tapi hal seperti itu tak akan menjadi titik kelemahanku. Karna aku tak percaya pada hal yang demikian. Bagiku itu hanyalah hayalan dan imajinasi oranng-orang penakut.
Ini pertama kalinya aku memasukinya.  Semua maja dan kursi menepi seolah tak boleh diduduki. Lumayan luas ternyata. Tampaknya cukup terawat. Lantai marmar coklat itu tampak baru saja di sapu. Peralatan seni yang tersedia pun tertata rapi. Tapi detik ini belum tampak tanda-tanda kehidupan yang terasa. Satu ruang paling belakang dengan pintu pojok kiri itu sedikit membuatku penasaran. Tapi bunyi pesan Mia yang dari tadi terus memekikkan telingaku memaksaku untuk memperhatikannya lebih dulu. Panntatku menginjak lantai yang tadinya di injak kaki yang berselimut kaos kaki coklat muda. Tidak! Layar datar ini sudah menunjukan angka 10% di pojok kanan bawah. Panikku mulai membara. Segera kukeluarkan chargernya. Kali ini hanya tinggal menancapkannya pada kontak yang tersedia. Namun hal ini mengingatkanku kembali pada masa pahit SMA yang tak bisa kulupakan.

“Nik, tolong dong,,,”pinta Nina sambil menyerahkan colokkannya.
“sini,,,”
Kugapai colokkan itu dan ku tancapkan pada kontak putih di dinding ungu kamar Nina layaknya pelajar TK yang memainkan puzzle dengan mahirnya.
“yeeeaaaa,,,, lampunya cantik Nik,,, mungkin karya kita akan menjadi yang terbaik,,, ”
Aku hanya mengangguk. Menggambarkan betapa fokusnya aku pada proyek yang sudah satu bulan lebih kami tekuni. Tanpa ragu, ku lepas lampu bercat merah itu dari feetnya. Treeettt,, sentakkan listrik itu kurasakan. Meski hanya lemah, energinya menggertakku. Cukup membuatku mundur dari medan perang.
“”Na,,, cabutin dong....” pintaku pada Nana yang tak tau secuiul pun akan kejadan yang menurutku dahsyat itu.
“oke deh,,, nah,, sekarang tinggal tahap terakhir merangkai ini. pakai lem lilin aja ya?? ”
“ya,,,” jawabku layu.
Perakitan lampion cantik itu cukup menghiburku. Sehingga ku lupakan gejala trauma yang mengancam hidupku. Akhirnya lampion 25 cm itu kmi selesaikan. Cukup membuatku terpukau, apa ini buatanku??? Dengan sigap kugapai colokkan yang sama untuk bermain puzzle untuk yang kedua kalinya. Cussss,,,,, letusan kecil itu menarik pita suaraku untuk keluar maksimal. Nafasku berestafet kencang antara tarik dan hembus. Keringat dingin itu terpencar dari pori-pori. Muka merah, panik dan memaksaku untuk tak sadarkan diri dari dunia.

Semenjak saat itu keberanianku menancapkan colokan mulai hilang. Tapi aku biisa melawannya di tempat mana aku sudah bediam lama, kontrakanku. Tapi ini bukan kontrakanku. Mia masih memanggil lewat obrolan. Tanganku sudah mendekati dua lubang kecil penuh misteri sejak beberapa tahun itu. kukumpulkan kuda-kuda pemberani yang masih tersisa dalam jiwaku, untuk berpacu melawan ketakutan akan takutnya diri pada hal kecil yang mungkin hanya aku yang menakutinya.
“hanya dua lubang kecil” kalimat itu berusaha ku ucapkan berulang kali untuk menenangkan diri yang tak kunjung tenang.
Cusss,,,,, bunyi itu terulang kembali. Tubuhku terlihat sama seperti beberapa tahun silam. Aku tetap berusaha untuk membuka mataku, melihat seramnya dunia. Melebihi suramnya muka kuntilanak kesurupan. Teriakan yang sudah kupancarkan beberapa detik lalu tampaknya tak menggetarkan gendang telinga seseorang.  Aku hanya bisa berusaha menenangkan diri sendiri. Aku tak mau pingsan disini. Tapi nafas yang juga panik ini menggambrkan hal lain yang tak kusukai. Pasrah, mungkin jalan yang akan ku pilih. Hatiku mulai komat-kamit berdo’a. Berharap suatu keajaiban akan terjadi di sela musibah yang sedang kuhadapi ini. perlahan mataku mulai menyerah, perlahan mulai gelap, perlahan mulai kosong.
Satu titik cahaya kini terlihat. Perlahan semua cahaya kembali berkumpul pada mataku. Bersama dengan wangi balsem yang menyengat hidung. Bantal nyaman ini cukup menenangkanku. Berpikir aku tak akan mati semudah itu.
“udah sadar??” suara berat yang tertahan jakun itu mengejutkanku.
Tatapanku mulai menatap keatas, dimana pemilik bantal paha yang tengah kunikmati. Koneksi otakku mulai tersambung pada kejadian pagi tadi. Ya, pria yang sama. Tapi badanku masih belum siaga untuk beranjak. Aku masih belum terbayangkan adegan drama yang ku tonton malam tadi mengimbas kehidupan nyataku. Ah, mana mungkin? Paling cuma kebetulan.  Panikku sebenarnya masih berkobar. Namun ekspres itu tak dapat ku keluarkan saat ini. bisa-bisa maluku naik 100o kalau salah berbuat satu gerak saja. Perlahan ku angkaat massa badanku dengan kekuatan yang masih tersisa. Tapi sepertinya ada perbedaan dengan drama malam tadi, pemeran cowoknya membantu si cewek bangkit. Sepertinya nih cowok cuek abiss,,,
“udah baikan???” tanyanya dengan muka datar miliknya.
“hmmm,,,”anggukkanku sepertinya belum meyakinkannya.



Bersambung………

No comments:

Post a Comment